
Energi terbarukan dan mobil listrik menjadi dua variabel pengubah terpenting masa depan energi dunia. Persaingan penguasaan tanah jarang (rare earth) kian intens dan siapa sangka Amerika Serikat (AS) melirik batu bara sebagai jalan keluarnya.
International Energy Agency (IEA) dalam laporan berjudul "The Role of Critical Minerals in Clean Energy Transitions" menyebutkan pergerakan dunia menuju energi terbarukan, dengan membangun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dll berkonsekuensi pada lonjakan kebutuhan pasokan mineral.
Untuk membangun PLTB yang memproduksi listrik setara dengan yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), perlu mineral sembilan kali lebih banyak dari mineral yang dipakai di unit PLTG. Lalu, produksi satu mobil listrik membutuhkan mineral logam enam kali lebih banyak ketimbang satu mobil konvensional.
Tidak heran, sejak 2010 hingga 2020 IEA mencatatkan penggunaan mineral logam di sektor kelistrikan melonjak hingga 50%, menyusul kian maraknya penggunaan energi terbarukan di jaringan listrik dunia. Salah satu mineral penting yang dipakai adalah tanah jarang.
"Unsur tanah jarang penting untuk magnet permanen yang vital bagi motor kincir angin dan mobil listrik. Jaringan listrik membutuhkan tembaga dan aluminium dalam jumlah yang besar, dengan tembaga sebagai dasar pengembangan teknologi yang terkait dengan kelistrikan," tulis IEA dalam laporan yang dirilis pada Mei 2021.
Magnet? Ya. Revolusi teknologi berujung pada masifnya penggunaan magnet berbasis logam non-besi yang menawarkan kinerja jauh lebih baik. Magnet berbahan tanah jarang Neodymum, misalnya, berkinerja 10 kali lebih kuat dari magnet biasa yang terbuat dari besi (Fe).
Seiring dengan perkembangan teknologi, keberadaan tanah jarang kian krusial karena fungsinya yang vital. Chip komputer dan ponsel anda, mengandung motor berukuran mikro yang bergerak dan bekerja berkat keberadaan magnet yang dibuat dengan unsur logam tanah jarang tersebut.
Pada tahun 2018, pemerintah Amerika Serikat (AS) merilis daftar 35 logam kritis, di mana 12 tanah jarang masuk di dalamnya. Disebut 'kritis', logam tersebut dipakai untuk mengembangkan teknologi generasi kelima dan senjata mutakhir sehingga bisa mempengaruhi ketahanan ekonomi dan pertahanan Negara Adidaya tersebut.
Sebutan 'tanah jarang' sendiri sebenarnya kontradiktif, karena unsur yang masuk ke golongan tersebut bukanlah tanah, melainkan logam, dan keberadaannya di alam cukup melimpah alias tidak jarang. Hanya saja, untuk mengekstraknya perlu proses pemurnian yang jarang dilakukan, kecuali oleh para penguasa teknologi dalam revolusi industri 4.0.
Di antara sedikit negara yang memaksimalkan ekstraksi tanah jarang untuk revolusi teknologi, China adalah salah satunya. China saat ini merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia, pasar terbesar dunia, dan sedang agresif mengembangkan teknologi mutakhir.
Sejak 2015, China secara resmi telah menyatakan ambisinya untuk memiliki posisi kuat di dunia dalam rantai pasokan (supply chain) produk Revolusi Industri 4.0 di tingkat global. Hal ini telah menjadi visi Perdana Menteri China Li Keqiang dalam semboyan "Made in China 2025."
Sektor yang disasar terutama teknologi informasi, robotik, energi terbarukan, mobil ramah lingkungan, peralatan kedirgantaraan, perkapalan, perkeretaapian, dan kelistrikan. Semuanya berbasis internet segalarupa (internet of things/IoT) atau kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI) yang mensyaratkan adanya otak yang ditanam di mesin, yakni chip.
Jika berbicara chip, maka tanah jaranglah bahan bakunya. Tidak heran, mereka rakus membangun proyek pemurnian logam kritis dan tanah jarang di seluruh dunia. Saat ini, menurut data IEA, Negeri Panda menguasai nyaris 90% fasilitas pemurnian tanah jarang di dunia, 70% fasilitas pemurnian lithium dan kobalt, serta 35% fasilitas pemurnian nikel dunia.
Di tengah situasi demikian, tidak heran Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memasukkan batu bara ke dalam opsi pengembangan tanah jarang. Pada akhir Maret 2021 lalu, Biden mengusulkan anggaran US$ 250 miliar (Rp3.576 triliun) untuk menggenjot infrastruktur, inovasi, dan pembukaan lapangan kerja di AS.
Sebanyak US$ 180 miliar di antaranya ditujukan untuk riset pengembangan teknologi masa depan. Di proyek tersebut, Gedung Putih membentuk entitas baru di bawah Departemen Energi, yakni Advanced Research Projects Agency-Climate (ARPA-C). Salah satu riset yang digawangi adalah pemanfaatan batu bara dan limbahnya sebagai sumber tanah jarang.
"Amerika kembali bertindak nyata dalam kebijakan iklim dan memohon dukungan atas peluang pendanaan baru bagi teknologi-teknologi mulai dari penangkap karbon, hingga energi panas bumi, dan mengekstraksi mineral kritis dari limbah batu bara," demikian tulis Departemen Energi AS dalam dokumen laporan kepada Kongres pada Mei lalu.
Ya, sekali lagi anda tidak salah dengar: batu bara, limbahnya pula. Berbagai riset di AS telah membuktikan bahwa, batu hitam ini kaya akan kandungan tanah jarang, bahkan hingga di limbahnya. Yang perlu dilakukan hanyalah mengekstraksi atau memurnikannya saja.
Fakta bahwa AS di bawah Biden kembali melirik batu bara ini menarik, karena sebelumnya dia dalam kampanyenya selalu memposisikan diri melawan Trump yang pro-batu bara, dan memilih mendorong percepatan transisi menuju energi terbarukan guna mencapai Kesepakatan Paris.
Studi sejak tahun 1800-an membuktikan bahwa batu bara dan limbahnya, terutama abu batu bara (coal ash), mengandung logam tanah jarang. V. M. Goldhschmidt, dosen minerologi di Universitas Gottingen Jerman dalam laporan berjudul "Rare Elements in Coal Ashes" (1935) menyebutkan kandungan tanah jarang di batu bara telah ditemukan sejak tahun 1885.
Dengan penelitian lebih lanjut, terungkap bahwa abu batu bara mengandung 30-an mineral kritis dan tanah jarang: Beryllium, Strontium, Barium, Scandium, Molybdenum, Lanthanum, Kobalt, Zirconium, Vanadium, Uranium, Gallium, Germanium, Arsenic, Antimony, Cadmium, Tellurium, Rhodium, Palladium, Thorium, Indium, Thallium, Selenium, Yttrium, dan Krom.
Namun saat itu tanah jarang tak banyak dipakai dalam industri. Baru di era komputer (awal tahun 2000-an) barulah tanah jarang diburu. Penelitian selanjutnya berjudul "Environmental Review of Coal Ash as A Resource for Rare Earth and Strategic Elements"(2013) menemukan bahwa kandungan tanah jarang di setiap 1 kilogram batu bara bisa mencapai 8,4 gram.
Pejabat AS mengonfirmasi itu, seperti Senator Mitt Romney. "Posisi China yang nyaris memonopoli logam tanah jarang membuat masyarakat dunia lainnya bergantung pada mereka. Dengan pendanaan ini, Utah akan terus memainkan peran vital di produksi logam tanah jarang dan mineral kritis di AS," tuturnya dalam siaran pers di situs Kementerian Energi AS.
Segendang sepenarian, Menteri Energi AS Jennifer M. Granholm menyatakan bahwa bahan bakar fosil yang telah mengalirkan energi ke AS selama puluhan tahun tersebut bisa menjadi garda depan menuju ekonomi berbasis energi bersih melalui ekstraksi mineral kritis di dalamnya.
"Dengan membangun produk energi bersih di sini, kita mengamankan rantai pasokan solusi inovatif yang dibutuhkan untuk mencapai emisi karbon nol-bersih pada tahun 2050 - semuanya dilakukan sembari menciptakan pekerjaan bergaji layak di seluruh penjuru Amerika," tuturnya.
Harap dicatat, ketika AS memanfaatkan batu bara bukan berarti mereka membakarnya begitu saja seperti yang dilakukan di masa lalu. Namun lebih dari itu, mereka mengembangkan energi fosil tersebut menjadi lebih bersih dengan kadar emisi nyaris nol, dan limbahnya diolah untuk menghasilkan tanah jarang yang vital bagi industri energi terbarukan.
Untuk itu, Departemen Energi AS menyalurkan dana US$ 19 juta untuk membiayai 13 proyek produksi elemen tanah jarang dan mineral penting di komunitas penghasil batu bara tradisional di seluruh AS, yang hasilnya akan diserap oleh industri pembuatan baterai, magnet, dan komponen lain ekonomi energi bersih.
Hal inilah yang perlu didorong di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan abu batu bara dari kategori limbah beracun (B3) dan mendorong penggunaan teknologi batu bara bersih di PLTU. Kini saatnya perusahaan batu bara memproduksi "emas" dengan mengolah limbah mereka.