Imbas Janji China Setop Proyek Batu Bara ke Indonesia

Sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211110132447-85-719195/imbas-janji-china-setop-proyek-batu-bara-ke-indonesia

 

China baru-baru ini berjanji untuk tidak membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri. Tak hanya pemerintah, beberapa lembaga swasta pun menyatakan komitmen seirama.

Selain China, negara Asia lainnya juga menyatakan hal senada, misalnya Jepang dan Korea Selatan.

Dengan berhentinya pendanaan China ke luar negeri, maka muncul pula permasalahan pembiayaan, terutama untuk negara berkembang yang selama ini bergantung kepada China.

Menurut kajian Center of Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor, tanpa dukungan dari China sebagian besar pembangkit listrik tenaga batu bara akan kesulitan untuk mengamankan modal awal yang diperlukan untuk konstruksi.

Janji China tersebut berpotensi menghapus setengah dari total proyek pembangkit batu bara di Asia, di luar India dan China. Proyek yang berpotensi dibatalkan tersebut kebanyakan atau sekitar 12,5 GW ada di Vietnam.

Sedangkan Bangladesh dan Indonesia berpotensi mengalami pembatalan proyek pembangkit masing-masing 9 GW dan 6,6 GW atau setara 88 persen dan 36 persen dari proyek pembangkit batu bara di masing-masing negara.

"Penarikan pembiayaan dari China mungkin menghentikan keran pendanaan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk semua," jelas CREA lewat rilis yang dipublikasikan pada Oktober, seperti dikutip pada Rabu (10/11).

Komitmen Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) terkait net-zero carbon menjadi indikasi perubahan positif mengingat perizinan tenaga pembangkit berbasis batu bara selama dekade terakhir telah menyebabkan konstruksi berlebih yang pada ujungnya menyebabkan over-supply.

Perubahan haluan RI juga tampak dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang akan mengubah atau membatalkan lebih dari 1,6 GW batu bara dan menunda 3,6 GW lainnya.

Namun, perlu diingat masih ada pembangkit 12 GW batu bara yang sedang dibangun dan sekitar 6,4 GW yang masih dalam proses perencanaan meski di tengah penarikan pembiayaan dari China.

Janji net-zero Indonesia bisa jadi terhambat bila masih banyak proyek batu bara yang dibangun. Banyak proyek captive power atau proyek yang dibangun untuk industri atau komersial telah mencapai kesepakatan pembiayaan, meski memiliki prospek keuangan yang buruk.

Dalam proyek 12 GW pembangkit listrik tenaga batu bara ini, 3,58 GW di antaranya akan digunakan oleh industri pemurnian nikel Indonesia yang sedang berkembang.

3,58 GW tersebut akan ditambahkan ke 3,16 GW tenaga batu bara lain yang sudah digunakan untuk pemurnian nikel di dalam negeri.

Setelah melarang ekspor bijih mentah pada 2014, Indonesia menerima investasi besar dari China untuk proses pemurnian nikel, Sebagian besar fasilitas pemurnian dioperasikan oleh perusahaan swasta China dan banyak yang dibiayai oleh Pemerintah China dan lembaga keuangan milik negara.

Misalnya, pembangkit 1,6 GW Delong Nickel tahap II yang dibiayai oleh konsorsium antara China Development Bank, ICBC, dan Bank of China senilai US$2 miliar.

Indonesia diproyeksikan meningkatkan lebih dari tiga kali lipat kapasitas produksi nikel tahunan dalam dekade berikutnya atau dari 770 ribu ton per tahun menjadi 2,5 juta ton per tahun.

Pada 2028, Indonesia disebut dapat menguasai 60 persen dari total produksi nikel dunia. Terlepas dari peningkatan kapasitas ini, para analis memproyeksikan meningkatnya permintaan nikel untuk kendaraan listrik dapat menyebabkan kekurangan pasokan global pada 2026.

Banyak dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi dan direncanakan di Indonesia dibangun oleh Independent Power Producers yang mengamankan PPA dengan PLN, yang mencakup klausul pembayaran kapasitas terlepas dari besaran daya yang diperlukan.

Lebih lanjut, CREA menyebut bakal dibutuhkan subsidi sebagai akibat dari penggunaan batu bara yang lebih besar sebesar US$6,5 miliar pada 2020 dan US$11,4 miliar pada 2022.

Related Regular News: