
Sumber : https://insight.kontan.co.id/news/catat-produksi-batubara-nasional-bisa-bertambah-hingga-30-juta-ton
KONTAN.CO.ID 16 September 2019 memberitakan bahwa di tengah tren penurunan harga batubara, pemerintah membuka peluang bagi produsen untuk menambah produksi batubara. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat 34 produsen batubara yang mengajukan penambahan produksi melalui revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Secara total, para produsen batubara mengajukan tambahan produksi berkisar 20 juta hingga 30 juta ton. Jika RKAB disepakati, maka volume tadi akan menambah proyeksi produksi batubara di sepanjang tahun ini yang mencapai 489,12 juta ton.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Muhamad Hendrasto, mengemukakan pihaknya belum mengabulkan permohonan tambahan kuota produksi batubara tersebut. Pasalnya, produsen belum melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi. "Ada persyaratan (yang harus dipenuhi). Tidak hanya meminta naik kemudian mendapatkan persetujuan," ungkap Hendrasto kepada KONTAN, kemarin.
Adapun persyaratan yang belum dilengkapi antara lain aspek teknis dan lingkungan. Lebih spesifik, aspek itu terkait rencana luas pembukaan lahan dan galian tanah yang akan digarap perusahaan jika produksi batubara mereka akan ditambah. "Jika berminat menambah, berarti buka lahannya berapa," kata dia.
Dengan mempertimbangkan kondisi itu, Kementerian ESDM belum tentu merestui tambahan kuota produksi seperti yang diajukan produsen.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, menegaskan ada beberapa pertimbangan dalam memberikan tambahan kuota produksi. Antara lain, pemenuhan wajib pasok batubara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sepanjang semester I-2019, kemampuan operasional perusahaan, serta kondisi harga batubara.
Kementerian ESDM memperkirakan, volume produksi batubara nasional hingga akhir tahun nanti akan seperti realisasi tahun lalu, yakni di atas 500 juta ton. "Ya (produksi tahun 2019 bisa di atas 500 juta ton). Mirip produksi tahun lalu," ujar Bambang.
Harga terpuruk
Di saat perusahaan mengajukan tambahan produksi, pasar batubara sebenarnya sedang melemah. Harga batubara acuan (HBA) pada September tahun ini tercatat sebesar US$ 65,79 per ton. Angka itu menyusut 9,47% dibandingkan posisi HBA bulan sebelumnya.
HBA September 2019 juga menjadi posisi terburuk sejak HBA Oktober 2016 yang menyentuh US$ 69,07 per ton.
Menyikapi kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia meminta agar pemerintah memperhatikan dampak terhadap pasar dan harga batubara. Dengan tingkat produksi seperti saat ini saja, Hendra menilai pasar masih dalam kondisi oversupply. "Jadi bertambahnya produksi pasti sangat berpengaruh terhadap pelemahan harga," kata dia.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, meminta pemerintah berhati-hati dalam menyetujui tambahan kuota produksi batubara. "Volume produksi nasional sensitif atas kondisi pasar yang oversupply saat ini," kata dia.
Memperketat pengawasan
Pemerintah melihat masih ada perusahaan batubara yang melakukan pelanggaran dalam produksi dan penjualan. Oleh karena itu, Kementerian ESDM merilis aplikasi Modul Verifikasi Penjualan (MVP) yang bertujuan meningkatkan pengawasan kegiatan pertambangan, khususnya dalam bidang pemasaran batubara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, mengungkapkan latar belakang peluncuran aplikasi MVP antara lain karena belum semua perusahaan melaporkan data produksi dan penjualan secara rutin lewat aplikasi Minerba Online Monitoring System (MOMS). "Ada perusahaan yang produksinya entah dari mana asalnya, kemudian bisa berjualan, tidak punya dokumen RKAB bisa jalan," kata dia.
Aplikasi yang selesai dibangun pada Juni 2019 ini akan menyeleksi ketat dokumen perusahaan. Bagi yang tidak melengkapi persyaratan sesuai aturan, maka tidak bisa melakukan transaksi. "Perusahaan mungkin bisa produksi di lapangan, tapi tidak bisa menjual. Ini sumber daya alam, bukan bahan makanan atau mainan," ungkap Bambang.