LAPORAN SINGKAT DARI COALTRANS JEPANG, TOKYO 17 SEPTEMBER – (Bagian 1)

Acara Coaltrans Japan berlangsung tanggal 17-18 September 2019 di Hilton Tokyo dikawasan Shinjuku. Kegiatan Coaltrans Japan selamai ini tidak berlangsung rutin dan terakhir diadakan sekitar tahun 2015. Coaltrans Japan 2019 ini dihadiri sekitar 100 orang peserta termasuk wakil dari beberapa perusahaan batubara dari Indonesia.  

Paparan pertama dibuka oleh Dr. Fabio Gabrieli Director of Dry Bulk Analysis and Strategy Mercuria Energy Trading, yang menyampaikan materi “Global Steam Coal Market Outlook”. Dalam paparannya, Dr. Gabrieli menjelaskan mengenai pertumbuhan pasokan dan permintaan (Supply & Demand growth) tahun 2019 vs 2018, dimana secara secara keseluruhan diperkirakan kondisi global masih oversupply sekitar 12 juta ton. Kelebihan pasokan tadi rinciannya antara lain, ekspor USA minus-12 juta, Kolombia (-6 juta), Rusia (+6 juta), lain-lain (2 juta), Afrika Selatan (-4 juta), Indonesia (+20 juta) dan Australia (+6juta ton).

Dari data di atas, Indonesia merupakan eksportir batubara yang paling banyak berkontribusi terhadap kondisi kelebihan pasokan tersebut. Balance tersebut dihitung dari ekspor negara-negara eksportir batubara ke wilayah Atlantik (meliputi Eropa), kemudian India, kawasan Asia Tenggara, China, dan Asia Timur (terdiri dari Jepang, Korea, dan Taiwan). Permintaan dari Atlantik (umumnya Eropa Barat) mencatat pelemahan terbesar yaitu (-29 juta ton) dan juga Asia Timur (-8 juta ton), sementara surplus tercatat di India (+12 juta), Asia Tenggara (+19 juta ton) dan China (+18 juta ton).

Untuk proyeksi di tahun 2020, balance permintaan dan penawaran secara keseluruhan (overall) diperkirakan minus (-6 juta ton) dengan supply dari US diproyeksikan berkurang atau minus (-9 juta ton). Sementara itu, balance supply dan demand di China diperkirakan (-5 juta ton). Pasokan dari Indonesia ke China diperkirakan minus (-13 juta ton). Sedangkan ke Asia Tenggara (+7 juta ton) yang diperkirakan peningkatan demand dari Vietnam. Adapun pasokan ke India (+2 juta ton) serta ke Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea) diproyeksikan surplus (+5 juta ton).

Paparan kedua dari Sunao Nakamura (Managing Executive Officer JERA)Jepang dengan topik “Japanese Power: projecting thermal coal demand”. Sementara trend global terhadap dekarbonisasi semakin meningkat, PLTU batubara tetap diposisikan sebagai salah satu sumber tenaga listrik utama di Jepang. Eenergy mix di Jepang hingga tahun 2030 diperkirakan peran batubara akan semakin berkurang secara bertahap, yaitu tahun 2010 sebesar 28 persen, tahun 2016 sebesar 33 persen dan di 2030 sebesar 26 persen. Di tahun 2030 tersebut, batubara diperkirakan perannya sedikit dibawah LNG 27 persen, tetapi lebih besar dibanding nuklir (20-22 persen) dan porsi renewable 22-24 persen. Sehingga berdasarkan proyeksi pemerintah Jepang tersebut, JERA yakin bahwa batubara akan tetap menjadi sumber bahan bakar utama di Jepang.

JERA sendiri dalam membeli batubara melakukan diversifikasi pasar. JERA di 2018 mengimpor dari Indonesia sekitar 23 persen batubara (atau 4,9 juta ton), sedangkan Australia 51 persen, Rusia 5% dan Amerika Serikat 21%. Porsi impor batubara dari Indonesia di tahun 2018 tersebut berkurang dibanding sebelumnya di 2016 sekitar 31 persen atau sekitar 6.7 juta ton Sedangkan impor JERA dari Australia mencakup 60% dari total impor perusahaan energi Jepang tersebut. Adapun di 2019, JERA meningkatkan pembelian batubara dari USA dan Rusia.

Lachlan Shaw (Director, Head of Commodity Research – National Australia Bank) yang menyampaikan paparan terkait dengan akses pendanaan terhadap proyek-proyek berkaitan dan industri batubara.  Mengenai akses kepada pendanaan, saat ini pendanaan meliputi proyek-proyke dalam tahap konstruksi dan mendekat konstruksi. Pendanaan kedepan akan mencakup proyek-proyek pengembangan yang advance. Sebagian besar pembiayaan (financing) disediakan oleh pihak China, Korea Selatan dan Jepang dimana sumber-sumber pendanaan tersebut berasal dari government financing agencies, bank ekspor-imipor atau bank-bank komersial besar. Pengembangan PLTU batubara sangat dinamis di wilayah Asia Tenggara, kemudian Afrika, Timur Tengah dan Asia Tengah.

Meningkatnya beban dampak regulasi semakin memperlambat proyek pertambangan batubara di Australia. Persetujuan (approval) menjadi lebih tidak pasti (uncertain) dan membutuhkan waktu lebih lama. Di negara bagian New South Wales, sepanjang 7 tahun terakhir  sekitar 19 tambang yang di asses terhadap sekitar 4 yang perijinannya di tolak (rejected), 4 belum diambil keputusan (undertermined) dan 11 yang disetujui (aproved). Assesmen dalam hal jangka waktu (timeframe) biasanya membutuhkan waktu 1-2 tahun. Saat ini lebih dari 3 tahun. Meningkatnya beban regulasi menunda proses assesmen ijin-ijin dan persetujuan dari pemerintah sering kali digugat di pengadilan.

Market untuk pendanaan proyek-proyek batubara semakin berkurang. Hanya perusahaan-perusahaan tambang terbaik yang dapat mengakses equity dan debt (hutang). Di sisi lain, tekanan dari LSM terhadap investor dan institusi keuangan hanhya terpusat terhadap pendanaan beberapa tambang. Untuk mengupayakan pendanaan, penambang harus menunjukkan antara lain, arus kas yang kuat (strong cashflow generation); usia tambang yang panjang (long-life) dan ases berkualitas (high quality assets), rekama jejak yang bagus dalam ketaatan terhadap aspek lingkungan dan kesalamatan, rekam jejak bagus dengan perbankan dan lembaga keuangan.

Di sesi berikutnya, paparan terkait dari situasi perbatubaraan di Amerika Serikat dan dampaknya terhadap pasokan di Asia. Paparan dibawakan oleh Dianna Ridgway (Senior Vice President – Research, Doyle Trading Consultants) “USA: The Case for US coal in Asia”. Menurut Dianna Ridway, penggunaan batubara untuk kebutuhan sumber energi domestik terus berkurang yang diakibatkan oleh peningkatan penggunaan gas alam, subsidi terhadap energi terbarukan, ditutupnhya pembangkit listrik yang marginal,. Selain itu kondisi sektor batubara Amerika Serikat juga terkendala oleh banyaknya perusahaan tambang batubara yang bankrut (under chapter 11 protection). Saat ini pemerintah AS mencari cara untuk membantu perusahaan-perusahaan batubara domestik  baik melalui pemberian subsidi maupun pengembangan infrastruktur ekspor. Oleh karena itu, export menjadi bagian besar dari industri pertambangan batubara Amerika Serikat saat ini.

Related Regular News: