Katadata Forum

Ketua Energi dan Sumber Daya Mineral, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sammy Hamzah mengungkapkan bahwa industri pertambangan batu bara membutuhkan kepastian regulasi dalam menjalankan usahanya, seperti kepastian regulasi mengenai perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Apalagi, bisnis pertambangan batu bara merupakan bisnis jangka panjang.

Sammy menjelaskan, dalam masa transisi ini, situasi yang dihadapi industri ekstraksi, termasuk batu bara, kurang lebih sama. Masa transisi selalu sulit diraba arahnya ke mana. Pertanyaannya, batu bara ini akan ditaruh di mana dalam proses transisi energi jangka panjang Indonesia? Yang penting pemerintah bisa membuat roadmap transisi energi yang menempatkan batubara di mana. “Ini penting bagi industri untuk kepastian usaha. Sehingga bisa dihitung berapa kapasitas yang dibutuhkan dan berapa investasi yang dibutuhkan,” kata Sammy dalam diskusi Katadata Forum mengenai Iklim Investasi dan Daya Saing Industri Batu Bara Indonesia di Lobby Lounge Grha Bimasena, Jakarta, Rabu 20 November 2019.

Menanggapi polemik soal perpanjangan kontrak batu bara yang sebagian sudah berakhir dan akan berakhir, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa pemerintah akan tetap konsisten dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Minerba, yakni memberikan perpanjangan kontrak  selama 20 tahun (2x10 tahun) sepanjang perusahaan memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Menurut Bambang, perusahaan-perusahaan itu sudah menambang 30 tahun, sehingga mestinya sudah ada kemajuan dengan program hilirisasi. “Kami mungkin penuhi perpanjangan 2x10 tahun tapi mungkin konsesinya nggak akan seluas sekarang……Kalau produksinya hanya segitu-segitu saja, mungkin nggak perlu seluas sekarang,” kata Bambang.

Dalam lima tahun ke depan setidaknya ada tujuh PKP2B Generasi I yang akan habis masa kontraknya. Ketujuh perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia (habis masa kontrak pada 1 November 2020), PT Kendilo Coal (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025). Adapun PT Tanito Harum, yang masa kontraknya habis pada Januari 2019 perpanjangan kontraknya dibatalkan oleh Menteri ESDM periode 2014-2019 Ignasius Jonan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, permintaan batu bara dunia masih tinggi, meski harga cenderung turun akibat kelebihan supply. China misalnya. Sekitar 45 persen impor batu bara dari China dipasok oleh perusahaan-perusahaan Indonesia.

Salah satu yang jadi perhatian perusahaan-perusahaan batu bara adalah soal regulatory risk, risiko yang dihadapi perusahaan akibat perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan, kata Hendra, sangat besar pengaruhnya bagi mereka. Investasi pertambangan selalu bicara jangka panjang, sehingga sentimen kebijakan dalam jangka panjang sangat mempengaruhi rencana dan pertimbangan investasi.  Soal daya tarik, kata Hendra, bisa dibandingkan dengan Australia. Dibandingkan Australia, royalti kalah menarik, demikian pula soal kepastian usaha. Di kehutanan misalnya banyak peraturan yang berubah dalam dua tiga tahun.

Menurut Coal Industry Competitiveness Assessment yang dilakukan National Energy Resources Australia (NERA) bersama Accenture pada Desember 2016, Indonesia berada di urutan keenam di antara negara-negara produsen batu bara di dunia. Indonesia berada di bawah Tiongkok, Afrika Selatan, Australia, Amerika Serikat, dan Rusia, dalam skor daya saing industri pertambangan batu bara. Tiongkok ada di urutan teratas dalam hal daya saing dengan skor 6,5. Indonesia berada di atas Kolombia, Kanada, Vietnam dan Mozambik. NERA menggunakan empat parameter dalam mengukur daya saing industri batu bara yakni kapasitas, kemampuan industri, regulasi, dan kondisi sosial politik.

Beberapa kebijakan berakibat kenaikan biaya sehingga menekan return on investment (ROI). Pada kasus lain, kebijakan pemerintah juga mempengaruhi pasokan dan permintaan, misalnya soal kebijakan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (DMO). “Kami sebagai mitra pemerintah siap bekerjasama untuk membenahi kondisi di industri batu bara,” kata Hendra.  

Soal DMO, menurut Gatot, sangat sulit untuk membuat kebijakan yang adil bagi semua perusahaan. Pemerintah sedang mencari formula yang fair untuk semua. Yang jadi pertimbangan utama pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri. “Yang penting pemerintah nggak akan membuat pengusaha bangkrut. Pengusaha tetap mendapatkan keuntungan finansial,” kata Bambang. Soal DMO, sikap pemerintah fleksibel. Mereka yang tak memenuhi target DMO juga tetap bisa ekspor. Perusahaan yang gagal memenuhi target DMO biasanya juga tak kena sanksi  karena pertimbangan ekonomi, sosial, lapangan kerja, dan sebagainya.

Seluruh dunia sedang bergerak menuju transisi energi dari fossil fuel ke energi terbarukan. Pemerintah sedang memikirkan alternatif fossil fuel. Menurut Prof. Subroto, mantan Menteri Energi, kita tak hanya harus bertindak cepat, tapi juga tepat. Ada sejumlah hal yang mesti jadi prioritas pemerintah.

Yang pertama, bagaimana mengembangkan sumber daya manusia untuk menopang industri pertambangan. Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Tujuan utamanya menemukan sumber-sumber baru mesin pembangunan. Ketiga, meningkatkan investasi. Kunci untuk menarik investasi adalah rate of return yang layak. “Kalau rate of return kita di bawah negara lain, pasti bakal kalah bersaing.”

Pekerjaan rumah yang tak kalah besar adalah deregulasi. Banyak izin di sektor pertambangan, termasuk pertambangan batu bara harus dipangkas. “Ini seperti never ending process. Hilang satu izin, muncul lagi izin lain,” kata Prof. Subroto. Terakhir,  setiap sen yg dibelanjakan pemerintah harus tepat sasaran.

Dalam jangka panjang, perlu transformasi struktural ekonomi Indonesia. Menurut Pieter Abdullah, Direktur Riset Core Indonesia, postur perekonomian Indonesia memang tak ideal karena ketergantungan pada sejumlah komoditas. Hal itu terjadi di pusat maupun di sejumlah daerah. “Kita nggak boleh bergantung pada sumber daya alam karena menjadikan perekonomian kita rapuh. Transformasi ekonomi struktural perlu untuk membuat perekonomian kokoh dengan bergeser pada sektor manufaktur,” kata Pieter.

Transformasi struktural tak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Kedua, dalam masa transisi, harus dipikirkan apa pengganti misalnya batu bara sebagai sumber penerimaan negara yang utama. “Kita tak bisa serta merta meninggalkan batu bara,” kata Pieter Abdullah. Dilihat di roadmap pemerintah, batubara juga masih bergantung pada batu bara dalam 5-10 tahun ke depan sebagai sumber energi.  Maka investasi harus terus dijaga sebagai tulang punggung ekonomi. Maka investor lama jangan dilupakan. “Kepastian investasi jadi sangat penting. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum agar investasi lama dan baru tetap tinggi.”

Related Regular News: