
Almarhum Soetaryo Sigit adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah pertambangan umum di tanah air. Sebagai salah satu perancang UU Pertambangan di tahun 1967 yang melahirkan sistem Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Alm. Soetaryo Sigit berperan besar dalam berkembangnya sektor pertambangan di tanah air terutama di era tahun 70an hingga 80an, periode yang dikenal sebagai era keemasan sektor pertambangan umum atau saat ini dikenal sebagai pertambangan mineral dan batubara.
Soetaryo Sigit dilahirkan di Blitar, Jawa Timur, pada 18 Juli 1929 dari pasangan Sigit Wongsoatmodjo dan Soewarni. Seluruh masa sekolah, dari tingkat dasar hingga menengahnya dilalui di Jawa Timur. Setelah itu melanjutkan Pendidikan di Jurusan Geologi- FIPIA, Universitas Indonesia, Bandung, dan lulus sebagai Sarjana Geologi di tahun 1956.
Pada tahun 1957 setelah mendapat pengangkatan sebagai Ahli Geologi pada Direktorat Pertambangan, Soetaryo pindah kerja ke Jawatan Geologi (kini, Badan Geologi).
Pada 1965, Soetaryo diangkat menjadi Pembantu Menteri Pertambangan.
Di tengah keraguan pemerintah Soekarno pada perkembangan sektor pertambangan, Soetaryo Sigit mampu meyakinkan pemerintah tentang besarnya potensi pertambangan mineral dan batu bara bagi perekonomian Indonesia.
Pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, ia mendapat tugas menyusun UU pengganti Undang-undang Pertambangan yaitu UU No.37 Prp.1960. Panitia Penyusunan UU Pertambangan waktu itu berhasil menyusun RUU Pertambangan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Sementara sebagai Ketua Panitia Teknis Perundingan Kerjasama Luar Negeri, Soetaryo Sigit berhasil memimpin tim dalam menyusun konsep Kontrak Karya Pertambangan (KKP) yang terbukti dapat menarik PMA di bidang pertambangan yang mana sistem KK dan PKP2B adalah salah satu jasa terbesar yang dihasilkan Soetaryo Sigit dalam karirnya membangun sektor pertambangan di tanah air.
Soetaryo Sigit juga merupakan pendiri dan ketua pertama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Ia pun saksi sekaligus pelaku sejarah pertambangan Indonesia.
Pada tahun 1973, Soetaryo Sigit diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan. Tugas ini dijalaninya hingga tahun 1984. Selanjutnya, hingga pensiun tahun 1989, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Selama berdinas di pertambangan, Soetaryo juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Bank Dagang Negara (1970-1980), Ketua Dewan Komisaris PT Tambang Batubara Bukit Asam (1982- 1989), dan Ketua Dewan Pengawas PERUM Tambang Batubara (1982-1989).
Setelah memasuki masa purnabakti, antara lain, dia berkarya sebagai komisaris independen PT INCO Indonesia; Ketua Komite Audit PT INCO Indonesia; dan penasihat bagi PT ADARO Indonesia, Indonesian Mining Association (IMA), serta Indonesian Coal Mining Association (APBI).
Atas kinerja dan dedikasinya, Soetaryo meraih beberapa penghargaan, antara lain: Satyalencana Wira Karya Pembangunan, R.I. (1964), Bintang Jaya Klas II, R.I (1966), U.S. Medal of Peace and Commerce (1979), Satyalencana Karyasatya Tk.I, R.I. (1982), Bintang Jasa Utama, R.I. (1995), dan Piagam Dharma Karya Utama, Dept. Pertambangan & Energi (1995).
Pada tanggal 9 Maret 1996, Soetaryo mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Institut Teknologi Bandung. Saat itu, beliau menyampaikan orasi imiah berjudul Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan Pertambangan Indonesia.
Menurut Pak Sigit, “tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara bukan terutama ditentukan oleh potensi sumber daya mineralnya, betapapun kayanya, melainkan lebih banyak bergantung pada kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam menciptakan usaha yang diperlukan,” kutipan diambil dari buku “Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia (Kumpulan Tulisan Soetaryo Sigit, 1967-0224) yang diluncurkan pada Juli 2004, bertepatan dengan ulang tahun Pak Sigit ke-75.
Prof. Dr. Subroto mantan Menteri Pertambangan dan Energi 1978 – 1988 mengagumi intelektual Pak Sigit pada waktu Pak Sigit memimpin Direktorat Jenderal Pertambangan dimana Pak Sigit sering membuat terobosan dalam pengaturan di bidang pertambangan.
Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Pak Sigit yang sampai saat ini masih berlaku adalah tarif royalti untuk PKP2B sebesar 13.5%. Tarif 13.5% tersebut muncul dari Tarik menarik antara kepentingan investor yang ingin berinvestasi di sektor batubara tetapi tidak ada yang bersedia menerima kontrak bagi hasil yang ditawarkan oleh pemerintah saat itu.
Sebagai bentuk penghormatan atas semua jasa Bapak Soetaryo Sigit bagi dunia pertambangan di Indonesia, maka pada perayaan yang ke 30 tahun, APBI-ICMA, menganugerahkan penghargaan ‘Life Time Achievement Award’ kepada alm. Bapak Soetaryo Sigit, yang dalam hal ini akan diterima oleh keluarga almarhum.