
Di tengah kekhawatiran melesetnya target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional, energi berbasis fosil yang melimpah di Indonesia yakni batu bara justru bisa menjadi solusi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) menyebutkan pemanfaatan EBT saat ini baru 12,4% dari total bauran energi nasional. Angka ini masih jauh dari target yang dipatok dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 23% pada tahun 2025
Jika tidak ada perubahan berarti dalam regulasi EBT, berupa insentif dan stimulus untuk menggenjot pemanfaatan energi ramah lingkungan, berbagai kalangan meragukan target tersebut bakal tercapai sesuai target.
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) jauh-jauh hari mengingatkan risiko melesetnya target itu. Demikian juga dengan Asosiasi Produsen Listrik Bioenergi Indonesia. Bahkan Ignatius Jonan ketika menjadi Menteri ESDM secara terbuka mengakui target 23% itu bakal sulit dicapai.
Target pemakaian EBT sebesar 23% dari bauran energi itu merupakan konsekuensi dari ratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada 2016 terkait pencegahan perubahan iklim. Tak pelak Indonesia menggenjot pemanfaatan energi non-fosil seperti sel surya (solar photovoltaic/PV), tenaga bayu, air, biomassa, hingga gelombang laut dalam bauran energinya.
Meski potensi listrik berbasis non-fosil di Indonesia besar, mencapai 441.700 megawatt (MW) atau nyaris 8 kali lipat dari produksi listrik nasional saat ini 58.000 MW, pengembangannya masih terbatas karena mahalnya investasi dan minimnya anggaran insentif energi tersebut.
Dengan sulitnya pencapaian target porsi EBT sebesar 23%, solusi justru bisa muncul dari energi fosil Indonesia yakni batu bara. Meski dituding sebagai biang pemanasan global, pasir hitam ini justru menawarkan solusi kombo untuk tiga persoalan di Indonesia sekaligus: pengendalian pemanasan global, menjaga kedaulatan energi, dan membangun industri bernilai tambah.
Jika kita melihat sejarah, Indonesia menuliskan kemauan politiknya yang pertama untuk mengembangkan energi hijau pada tahun 2007, dengan diloloskannya payung hukum tertingginya, yakni UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Para pemangku jabatan di negeri ini paham benar bahwa menggenjot energi hijau dengan mengesampingkan energi fosil yang lebih murah dan telah lebih dulu dikomersialisasikan merupakan sebuah langkah utopis. Keduanya harus berjalan beriringan mengingat energi terbarukan memerlukan dukungan subsidi yang bersumber dari penerimaan pajak yang sedikit-banyak berasal dari sektor riil yang digerakkan oleh energi fosil.
Tidak heran, tidak ada istilah 'energi terbarukan' dalam UU tersebut sebagaimana di negara-negara lain, melainkan 'energi baru dan terbaruan (EBT)'. UU Energi menyebutkan "energi baru adalah energi yang berasal dari sumber-sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan".
Lebih lugas, disebutkan bahwa energi baru meliputi nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). Pengertian ini juga dipertahankan di Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan yang tengah digodok DPR.
Dengan kata lain, jika negeri ini mampu mengembangkan energi fosil (batu bara) menjadi produk ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah, maka keluarannya bisa dihitung sebagai bagian dari produk EBT sehingga membantu mencapai target 23% tersebut.
Energi Baru: Jalan Tengah Kedaulatan Energi
Sekilas mungkin terdengar ironis, karena energi fosil (batu bara) bahu-membahu dengan energi nonfosil dalam satu kategori ‘energi ramah lingkungan’ alias EBT. Pasalnya, industri batu bara sering dilekatkan dengan fenomena kerusakan lingkungan sejak dari produksi, pengangkutan, hingga pemakaian. Namun, hilirisasi justru bisa menjadi solusi persoalan itu.
Sebagaimana diketahui, energi baru adalah rekayasa produk energi fosil yang dikelompokkan dalam satu kategori dengan energi nonfosil sebagai EBT. Jika energi baru itu—baik batu bara tergaskan atau tercairkan—dikembangkan, maka target EBT sebesar 23% dari bauran energi primer nasional pun bisa terbantu untuk dicapai.
Indonesia sangat potensial mengembangkan batu bara ter-gaskan karena 85% batu baranya memiliki kadar kalori menengah-rendah. Riset Institut Teknologi Bandung (ITB) berjudul “Study of Indonesia Low Rank Coal Utilization on Modified Fixed Bed Gasification for Combined Cycle Power Plant” (2015) menunjukkan batu bara Indonesia cocok dikembangkan menjadi gas sintetik (synthetic gas/syngas) guna memutar Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU).
Sejauh ini, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sudah memaparkan rencananya menggarap gasifikasi batu bara. Langkah hilirisasi batu bara ini bakal meningkatkan nilai tambah batu bara Indonesia, dan sekaligus mengubah keluarannya menjadi produk yang ramah lingkungan (memiliki emisi karbon rendah karena sudah berbentuk gas).
Direktur Utama BUMI Saptari Hoedaja mengatakan nilai investasi proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) tersebut diprediksi mencapai US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 22,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Studi kelayakan (feasibility study) saat ini masih dijalankan.
Di sisi lain, Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan menyebutkan bahwa PTBA menyiapkan investasi US$ 3 miliar untuk proyek serupa. Saat ini, perusahaan pelat merah ini sudah memasuki fase kedua pengembangan.
Namun bagaimana dengan perusahaan batu bara lain? Sejauh ini belum ada kabar. Nyaris 99% dari produsen batu bara Indonesia belum memiliki fasilitas gasifikasi tersebut, menjadikan dua perusahaan berstatus terbuka (Tbk) tersebut menjadi pelopor.
Di luar pembangunan fasilitas gasifikasi, pelaku usaha batu bara juga memiliki peluang lain pemanfaatan batu bara dengan konsep hijau (ramah lingkungan) dan menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, yakni Underground Coal Gasification (UCG).
Dalam riset berjudul “Underground Coal Gasification A Safe, Secure and Clean Unconventional Gas Technology For Development in Indonesia” (2012), Ragil Prabowo menyebutkan bahwa 85% sumber daya batu bara Indonesia tidak masuk dalam hitungan cadangan terbukti karena kalorinya rendah dan letaknya jauh di bawah tanah.
Per 2019, Kementerian ESDM mencatat sumber daya batu bara di Indonesia mencapai 113 miliar ton, tetapi dari angka tersebut, yang berujung menjadi cadangan terbukti (yang feasible untuk diekploitasi) hanyalah 33 miliar ton (29,2% dari sumber daya yang ada).
“UCG adalah proses ekstraksi satu langkah (seperti penambangan batu bara) dengan proses konversi. Dia menghasilkan syngas yang bisa diproses untuk bahan bakar pembangkit listrik, disel, pupuk, hidrogen, dan bahan baku kimia,” papar dia.
Kepastian Bisnis Jadi Prasyarat Penting
Untuk mendorong transformasi industri batu bara, diperlukan kemauan politik pemerintah dan kepastian usaha bagi pelaku industri. Bicara kepastian usaha, saat ini ada tujuh perusahaan tambang generasi pertama pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) yang akan segera habis masa berlakunya.
Pasca penerbitan UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, seluruh penambang batu bara harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melalui proses renegosiasi.
Perusahaan pemeringkat Fitch Ratings mencatat ketujuh raksasa batu bara tersebut memiliki total produksi tahunan mencapai 175 juta ton, atau setara dengan 30% produksi domestik. Bumi adalah salah satunya. Sejauh ini, perseroan baru menjalankan studi kelayakan (feasibility study) untuk proyek hilirisasi tersebut.
Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan proses FS masih berjalan. Proyek tersebut bakal melibatkan investasi tak sedikit, antara US$1 miliar dan US$ 2 miliar. Jika disetujui pemegang saham, proyek gasifikasi Bumi bakal tuntas waktu dua atau tiga tahun.
"Bumi telah memulai feasibility study proyek gasifikasi yang diharapkan selesai tahun ini. Setelah itu, manajemen akan mempresentasikan proposal kepada dewan direksi (termasuk CIC & CDB) dan menunggu arahan untuk langkah selanjutnya," tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Tatkala pelaku bisnis sudah berinisiasi menggarap proyek masa depan ini, pemerintah pun perlu memainkan perannya untuk mendukung itu. Jika mengacu pada poin ease of doing business yang menjadi tolak ukur investor memulai aktivitas bisnis dan investasi, maka pemerintah bisa membantu kelancaran proyek gasifikasi dengan ‘menghormati kontrak’.
Untuk BUMN seperti PTBA, tidak ada isu dengan kontrak sehingga mereka leluasa memasukkan proyek gasifikasi dalam rencana kerja jangka panjang 5 hingga 10 tahun ke depan. Namun bagamana dengan perusahaan swasta seperti Bumi Resources, yang saat ini menghadapi risiko terkait kepastian usaha?
Percuma jika FS selesai dan tiang pancang dijalankan jika tidak ada kepastian mengenai besaran lahan konsesi yang digarap, mengingat pabrik gasifikasi bakal membutuhkan pasokan tambahan batu bara, dengan tidak mengganggu produksi konvensional untuk memasok pasar batu bara domestik lokal dan global untuk listrik.
Dalam ketentuan izin yang baru, jangka waktu lisensi eksplorasi menjadi lebih pendek dengan batas lahan konsesi yang lebih kecil. Hal ini tentu menjadi kabar buruk bagi pengusaha batu bara yang ingin berinvestasi lebih besar untuk menggarap hilirisasi batu bara karena berpeluang membuat pasokan batu bara mereka menjadi terkepras.
Tentu saja kita berharap bahwa faktor alih izin PKP2B tidak mengecilkan upaya perusahaan batu bara seperti Bumi dan Bukit Asam untuk mengembangkan gas pengganti impor elpiji. Secara bersamaan, pemerintah tentu tak ingin program gasifikasi mengganggu pendapatan royalti dan penerimaan pajak dari penjualan batu bara secara konvensinal.
Harap dicatat, nilai ekspor batu bara pada tahun lalu saja mencapai US$ 24 miliar, naik dari capaian tahun 2017 (sebesar US$ 21 miliar) dan tahun 2016 (US$ 15 miliar). Disrupsi ekspor dalam situasi ekonomi global seperti sekarang, tentunya bukan hal yang bijak.
Semoga saja Omnibus Law yang mengatur perpanjangan operasi PKP2B bisa mengubah Indonesia tidak hanya menjadi eksportir terbesar batu bara di Kawasan Asia, melainkan juga produsen syngas ramah lingkungan yang terbesar di dunia!