
Sumber : https://www.validnews.id/Ruu-Omnibus-Law-Minerba-Jangan-Lupakan-Kewanangan-Daerah-JwU
Penyederhanaan perizinan di sektor minerba dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dikhawatirkan menghilangkan semangat desentralisasi daerah. Padahal peran pemerintah daerah dalam pengawasan, dinilai penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang satu ini.
“Penguasaan minerba masih ada di pemerintah pusat dan tidak ada di pemerintah daerah. Ini jelas-jelas resentralisasi, bertentangan dengan spirit otonomi daerah untuk melakukan pengutan dan kemandirian daerah,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia di Jakarta, Senin (24/2).
Ia khawatir hal ini berpotensi meningkatkan kohesi politik dan ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah. Ada polemik soal cara penentuan dana bagi hasil pada sebuah wilayah.
Pemerintah daerah pun dinilai akan semakin turun tanggung jawab pengawasannya. Sebab kelak sektor tersebut bisa tidak memiliki kontribusi ekonomi bagi daerah. Pemda pun tidak punya diskresi untuk mengatur sebagai pemilik.
Padahal soal pengawasan lapangan, pemerintah pusat punya sumber daya manusia yang sangat minim dan terbatas sarana prasarananya. Jika sudah demikian potensi ilegal mining (pertambangan tanpa ijn/PETI) justru malah meningkat.
“Jika yang ingin diselesaikan adalah pungli, izin yang overlapping, SDM Pemda yang kurang dan cadangan data yang kurang harusnya pengaturan perizinan itu dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang tetap bukan dihilangkang sama sekali,” kata dia.
Ia menyarankan agar desentralisasi bersyarat bisa diterapkan dalam hal ini. Dimana nantinya pemda yang tidak memiliki peta wilayah tambang tidak diperbolehkan untuk memberikan izin. Jika diketahui terjadi pungli, ada sanksi tegas bagi oknum. Sehingga kewajiban pemda buka dihilangkan sama sekali.
Sejak awal publik kesulitan mendapatkan draft NA maupun Draft RUU Cipta Kerja dari pihak Pemerintah. Padahal, UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, terutama Pasal 89 jo 96 telah mengatur kewajiban Pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat.
Meskipun saat ini NA dan Draft RUU Cipta Kerja sudah di-publish di website Pemerintah, terutama pasca diserahkannya dokumen tersebut ke DPR, justru momentum krusialnya pada saat penyusunan dan pembahasan di tingkat Pemerintah lah, keran aspirasi mesti dibuka seluas-luasnya.
”RUU Cipta Kerja perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan secara luas dan berbagai pemangku kepentingan,“ imbuhnya.
PWYP Indonesia menilai secara substansi Draft RUU Cipta Kerja, khususnya bab dan pasal yang terkait sektor pertambangan minerba, hampir sama dengan usulan Draft RUU Minerba maupun Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sempat menjadi kontroversi dan dikritik oleh banyak kalangan beberapa waktu yang lalu. Jadi beleid ini dinilai hanya mengganti kemasan saja tanpa kebaruan isi.
Pasal-pasal “kontroversial” seperti Perpanjangan otomatis KK & PKP2B secara langsung tanpa melalui proses lelang dan luas wilayah yang lebih dari 15.000 Ha, yang dianggap menguntungkan sejumlah Perusahaan besar semata; ataupun Penghapusan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi untuk Pemberi izin yang melakukan penyalahgunaan kewenangan terkait pemberian izin usaha pertambangan.
Selain memindahkan pasal-pasal kontroversial RUU Minerba dan DIM Pemerintah, Draft RUU Cipta Kerja juga menghapus, mengubah dan menambahkan sejumlah pasal dalam UU Minerba yang berdampak cukup fundamental terhadap sektor ini.
Dalam konteks penarikan kewenangan ke Pemerintah Pusat saja misalnya. Hal tersebut, berpotensi bertentangan dengan cita-cita otonomi daerah, khususnya di era reformasi. Mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik.
Sebagian besar perubahan UU sektoral yang terdampak dari Omnibus Law ini akan memandatkan pada pembentukan peraturan lebih lanjut di bawah UU untuk melakukan pengaturan lebih detail, baik itu melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) maupun peraturan turunan lebih lanjut di bawahnya.
Bahkan, jika terdapat suatu konflik atau dispute dalam pelaksanaan kegiatan investasi dan perizinan, penyelesaian lebih cenderung diserahkan kepada Presiden melalui Perpres.
Kekhawatiran Sentralisasi
Kekhawatiran adanya upaya kembali pada sentralisasi semakin menguak dengan kontroversi Pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah.
Selain bertentangan dengan UU No 12/2011 (dan perubahannya) juga berpotensi melanggar Konstitusi UUD 1945. Argumen ‘salah ketik’ atas pasal 170 yang dinyatakan oleh Menkopolhukan dan Menteri Hukum dan HAM yang dimuat beberapa media merupakan preseden buruk dalam proses penyusunan peraturan perundangan yang menimbulkan polemik dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat.
Pemerintah secara resmi telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan Draft Rancangan UndangUndang (RUU) Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (12/2).
Draft RUU Cipta Kerja memuat setidaknya 11 Klaster, 79 UU, 15 Bab, dengan 174 Pasal yang akan merampingkan, memangkas dan menghapus puluhan regulasi setingkat UU yang dianggap tumpang tindih dan menghambat kemudahan investasi. Tak heran jika RUU Cipta Kerja ini disebut juga RUU “Sapu Jagat”.
Sejumlah perizinan akan terdampak dengan adanya RUU Cipta Kerja ini, termasuk di dalamnya sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Untuk diketahui, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral batubara pada 2020 ditargetkan naik 2,58% dari tahun lalu menjadi Rp44,39 triliun. Target itu lebih rendah dari realisasi PNBP sektor minerba sepanjang 2019 yang mencapai Rp44,93 triliun.
Padahal saat ini, harga komoditas batu bara sudah menurun. Sampai sekarang harganya berkisar US$66 per ton. Dalam kondisi itu, produksi batu bara dianggap masih belum sesuai harapan.
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pun dirancang 550 juta ton. Lebih tinggi dari yang ditetapkan badan anggaran yang memasang target 530 juta ton, dengan asumsi harga batu bara acuan (hba) US$90 per ton (kurs Rp14.000).
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana merevisi peningkatan produksi jika harga membaik pada pertengahan tahun.