
Sumber : https://kaltim.prokal.co/read/news/368529-perusahaan-tambang-perlu-diberi-efek-jera
Alamnya dikeruk, tapi pendapatannya tak sepadan. Itulah kondisi Kaltim terhadap industri batu baranya. Pemerintah diminta tegas mendorong agar pendapatan Kaltim dari sektor batu bara bisa lebih optimal.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim Syafruddin menilai porsi untuk Kaltim terbilang sedikit dari sektor batu bara. “Kita (Kaltim) itu hanya kebagian 17 persen dari pajaknya,” ucap Syafruddin.
Dia mengatakan, batu bara khususnya yang perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) itu mengurus perizinan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka pun membayar royalti langsung ke pusat.
“Jangan ‘kan itu, untuk jamrek (jaminan reklamasi) saja enggak transparan. Apalagi sekarang tambang besar banyak kontraknya mau habis. Maka pemprov harus sedikit menekanlah,” sambungnya.
Dia melanjutkan, sekarang rencananya PKP2B yang habis masa kontraknya, dan hendak memperpanjang, statusnya akan berubah. Jadi, PKP2B menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi (IUPK OP). Syafruddin menambahkan, pemerintah provinsi harus minta bagian. Meski ada wacana laba bersih 10 persen untuk pemprov, tapi dalam 10 persen itu juga ada bagian pemerintah pusat.
“Makanya, ketika berkunjung ke Kementerian ESDM, saya tanya kenapa pemerintah tidak berani memberlakukan sektor tambang batu bara seperti migas (minyak dan gas). Karena di migas, pemerintah sudah tidak memperpanjang, perusahaan minyak diambil alih Pertamina. Seperti Total E&P Indonesie atau VICO. Artinya, masih ada perilaku berbeda dengan tambang batu bara,” sambungnya.
Syafruddin menambahkan, bila migas sudah dirasakan Rp 300 miliar pendapatan dari sektor migas. Nah, khusus tambang, Kaltim kesulitan mendapat jatah. Sedangkan imbas langsung tambang yang merasakan adalah masyarakat.
“Maka, pemprov harus menekan. Mumpung, sekarang lagi dirumuskan undang-undang terkait itu. Termasuk poin-poin yang menguntungkan Kaltim. Aturan pemerintah daerah dapat jatah. Jangan hanya royalti, saham lah. Biar jelas kontribusinya buat daerah,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah mengatakan, persoalan pendapatan dari sektor tambang adalah klasik yang tak kunjung mampu dijawab pemerintah.
“Ada kesan pemerintah tersandera oleh pemegang konsesi-konsesi tambang. Sepertinya pemerintah memang tak punya daya di hadapan para pemilik perusahaan,” ujar lelaki yang akrab disapa Castro itu.
Dia melanjutkan, padahal dalam aspek kewenangan, pemerintah sesungguhnya punya otoritas penuh menindak pemegang IUP (izin usaha pertambangan) yang tidak taat pajak dan kewajiban lainnya. “Itu ‘kan aneh bin ajaib. Pemerintah itu ibarat kuli bagi para pemodal di tanahnya sendiri,” lanjutnya.
Castro menuturkan, dalam banyak kasus lumpuhnya upaya penindakan dan penegakan hukum, pertanda kuatnya indikasi perbuatan yang bersifat transaksional. Dalam kasus ini, bisa jadi ada transaksi jual-beli bisnis perizinan tambang, yang membuat pemerintah tak berdaya di hadapan pemilik konsesi, mesti telah melakukan pelanggaran nyata.
Menurutnya, solusi terbaik adalah melakukan upaya digitalisasi data. Sehingga publik bisa berfungsi sebagai second line dalam mengawasi pemegang IUP yang tidak taat pajak ataupun kewajiban lainnya.
“Tapi sembari menjatuhkan sanksi tegas agar memberikan efek jera (deterrent effect). Sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi ke depannya. Kalau pemerintah cenderung tidak berani menjatuhkan sanksi, berarti memang ada masalah krusial yang mesti dibongkar. Aparat penegak hukum harusnya turun tangan dan memeriksa pihak terkait yang punya irisan kepentingan,” pungkas dosen Fakultas Hukum Unmul itu.
Diwartakan sebelumnya, ratusan izin usaha pertambangan (IUP) di Kaltim tidak berproduksi. Kuat dugaan, jika para pemegang IUP sengaja tak melaksanakan kegiatan eksploitasi batu bara. Lantaran, surat keputusan (SK) pemberian IUP yang diterbitkan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau gubernur diagunkan ke bank. Tujuannya, agar mendapat pinjaman.
Menurut data Dinas ESDM Kaltim, jumlah IUP di Kaltim yang terdata hingga 14 Maret 2019 sebanyak 1.404 izin. Jumlah itu merupakan hasil rekonsiliasi data antara Dinas ESDM dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari jumlah tersebut, sebanyak 386 IUP berstatus clean and clear (CNC) operasi produksi (OP).
Namun, hanya 50 persen yang menghasilkan batu bara. Atau sekitar 160 IUP yang berproduksi. “Sisanya ‘tidur’ atau tidak menjalankan produksi batu bara,” kata Kepala Dinas ESDM Kaltim Wahyu Widhi Heranata.
Pria yang akrab disapa Didit itu menduga, alasan pemegang IUP tidak melakukan kegiatan produksi batu bara, karena SK IUP CNC OP hanya menjadi persyaratan untuk mengambil pinjaman ke bank. Praktik terselubung itu sudah disampaikannya ke Gubernur Kaltim Isran Noor.
Diharapkan, segera ada evaluasi terhadap pemegang IUP yang tidak menghasilkan batu bara itu. Sebab, berpotensi menimbulkan kerugian negara. “Saya sudah bilang ke Pak Gubernur. Karena mereka hanya membayar PBB (pajak bumi dan bangunan) saja. Tapi, kesempatan untuk memproduksi tidak dilakukan,” ungkap mantan kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim itu.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang menerima informasi tersebut berjanji akan menindaklajutinya. KPK, akan menelusuri dugaan IUP yang dipakai bukan untuk kegiatan pertambangan. Namun, diagunkan ke bank untuk mendapat pinjaman. “Kami akan telusuri. Itu menarik. Juga, kalau ada bank yang melakukan praktik sekadar menyimpan surat izin (IUP), untuk mengeluarkan duit. Yang bisa menimbulkan kredit macet,” terang dia.
Mantan ketua Pengadilan Negeri Samarinda itu pun merekomendasikan pengetatan syarat penerbitan IUP. Baik izin yang dikeluarkan menteri ESDM maupun kepala daerah. Jika terbukti, maka temuan SK IUP yang diagunkan ke bank menjadi kasus pertama kali terjadi di Indonesia. Dia pun menyarankan dilakukan pencabutan IUP oleh pihak terkait.