Bangkit dari Gocap, Begini Cerita BUMI Saham Sejuta Umat

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20200903141412-17-184165/bangkit-dari-gocap-begini-cerita-bumi-saham-sejuta-umat

 

Kalangan investor heboh beberapa hari ini, pasalnya saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mulai bergerak. Pergerakan saham BUMI sudah mulai tampak dari  perdagangan kemarin, hari ini BUMI berhasil bangkit dari level terendahnya yakni Rp 50/unit terbang 10% ke level Rp 55/unit.

Dengan bangkitnya saham BUMI, muncul pertanyaan di benak para investor mengapa saham BUMI sangat populer di kalangan para investor sehingga ketika saham ini bangkit dari level gocap, jagat pasar modal berhasil dibuat gempar.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava menjelaskan harga saham bumi telah beranjak dari Rp 50/unit. Dengan jumlah saham yang ditransaksikan relatif besar.

"Mungkin ada beberapa spekulasi dari cerita positif yang baru. Bisa jadi ekspektasi BRMS (Bumi Mineral Resources) atau status IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), CCoW (Coal Contracts of Work) atau beberapa harapan positif dari RUPSLB 16 September," kata Dileep, kepada CNBC Indoensia.

Menurut Dileep, secara keseluruhan prospek Bumi dalam jangka menengah cukup menjanjikan. Produksi batu bara mencapai 100 juta ton per tahun dengan biaya yang lebih rendah.

Well, sejarah saham BUMI di pasar modal ternyata memang sangatlah panjang. Pertama kali tercatat di bursa tiga dekade lalu tepatnya pada 30 Juli 1990, BUMI semula adalah emiten properti bernama PT Bumi Modern yang mengelola hotel dan jasa wisata.

Permohonan IPO diajukan oleh AJB Bumiputera 1912 (Bumiputera) selaku pemilik 100% saham Bumi Modern, setelah membeli saham Bumi Modern lainnya milik pengusaha nasional Peter Sondakh dan H.A. Latief Thoyeb, masing-masing pada tahun 1983 dan 1985.
 

Perseroan menawarkan 10 juta sahamnya (29% dari total saham disetor) seharga Rp 4.500 per unit, sehingga meraup dana segar Rp 45 miliar. Pasca IPO, publik memiliki 29% saham BUMI dan 71% lainnya dipegang Bumiputera.

Tiga tahun kemudian, investor kelas kakap masuk yakni PT Taspen (persero), PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek)-kini PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Pelician Holdings Limited.

Hingga tahun 1997, BUMI memiliki aset perhotelan berupa hotel bintang lima Hyatt Regency Surabaya, yang dikelola oleh Hyatt International Asia Pacific Limited. Di luar itu mereka memiliki aset perkantoran dan bisnis jasa pariwisata.

Perubahan drastis BUMI terjadi setelah pengusaha nasional Grup Bakrie masuk ke perseroan, mengubah secara radikal bisnis intinya, hingga membuat sahamnya meroket ke level tertinggi sepanjang sejarah pencatatannya.

Menurut neraca keuangan BUMI, Grup Bakrie mulai masuk menjadi pemegang saham perseroan pada 20 Juni 1997 atau ketika krisis keuangan Asia mendera, dan menjatuhkan harga aset-aset properti, termasuk yang dikelola Bumi Modern.

Di tengah kondisi krisis yang memicu likuiditas ketat, PT Bakrie Capital Indonesia (Bakrie Capital) masuk menjadi penyelamat dengan melakukan penawaran tender (tender offer) atas saham BUMI sebanyak 25%, setelah mengakuisisi 58,15% saham BUMI milik AJB Bumiputera.

Selanjutnya pada 29 Agustus 1997, Bakrie kembali memperoleh 33,9% saham BUMI milik Bumiputera. Dus, Bakrie Capital memegang 58,9% saham BUMI yang saat itu masih merupakan perusahaan yang bergerak di bisnis perhotelan dan pariwisata.

Dengan kepemilikan di atas 51%, maka Grup Bakrie resmi menjadi pengendali perusahaan tersebut. Di bawah kepiawaian Nirwan Bakrie, BUMI yang mengakuisisi aset KPC dan Arutmin terus berkembang menjadi eksportir terbesar batu bara nasional.

Di bawah tangan dingin keluarga Bakrie, BUMI hijrah dari bisnis properti ke bisnis minyak, gas alam dan pertambangan dengan akuisisi aset tambang raksasa. Dari Gallo Oil pada 2000, hingga Arutmin pada 2004 serta Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2005.

BUMI kian berkembang menjadi perusahaan berskala global menyusul masuknya investor-investor kelas kakap dunia. Sebut saja grup konglomerasi asal India, yakni Tata Power. Berbasis di negara konsumen terbesar batu bara kedua dunia, Grup Tata pada 2007 meneken kesepakatan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas di KPC sebesar 65%.

Pada periode ini saham BUMI menjadi primadona pasar modal dan diminati oleh banyak investor. Tak hanya investor domestik, tapi juga investor asing. 

Di era kejayaan BUMI, tampaknya tak ada investor yang tak bersentuhan dengan saham BUMI. Sampai ada banyak kalangan pelaku pasar modal menyebut saham-saham BUMI dengan istilah saham sejuta umat. 

Banyak yang menikmati cuan dari saham-saham tersebut dan soal likuiditas tak usah diragukan lagi. Saking banyaknya yang punya dan mau membeli saham ini, tidak susah untuk melikuidasinya. 

Tercatat pada periode ini pada awal tahun 2007 harga saham BUMI berhasil melesat dari Rp 890/unit naik hampir 10 kali lipat ke level tertingginya Rp 8.750/unit pada Juni 2008 atau apresiasi 983%.

Akan tetapi kisah indah saham BUMI harus berakhir di tahun yang sama saat terjadi krisis subprime mortgate di Amerika Serikat (AS) pada 2008, bursa saham domestik langsung ambruk dan tahun itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 80%.
 

Kejatuhan bursa saham domestik tersebut membuat harga saham-saham dari Grup Bakrie terkoreksi. Saking banyaknya skema transaksi yang melibatkan saham Grup Bakrie, semakin banyak pula sentimen negatif yang mempengaruhi kinerja saham-saham dari Grup Ini. Pada awal tahun 2009 sendiri terpantau harga saham BUMI sudah anjlok 95% ke level Rp 385/unit.

Pada 2009, investor besar asal Negeri Tirai Bambu yakni China Investment Corporation (CIC) berinvestasi senilai US$ 1,9 miliar dalam bentuk utang. Belakangan, sebagian utang dikonversi menjadi saham sehingga CIC menjadi pemegang saham pengendali (PSP)dengan porsi 22,7%.

Para pelaku pasar mampu merespons kabar ini dengan positif sehingga harga saham BUMI berhasil bangkit dari titik terendahnya dan berhasil terbang ke level Rp 3.650/unit pada Mei 2011.

Akan tetapi kisah BUMI masih belum mampu happy ending, Pada 2011 harga batu bara dunia terus terperosok dari titik tertingginya di angka US$ 137/ton hingga jebol ke level US$ 49/ton pada April 2016.

Penurunan harga batu legam ini sendiri terjadi karena negara-negara di Eropa melakukan shifting dari penggunaan batu bara dan mencari sumber energi lain yang lebih hijau karena batu legam dianggap sebagai salah satu penyumbang utama pemanasan global.

Penurunan harga bau bara membuat saham BUMI kembali merana. Kala itu saham BUMI terus turun hingga pada 2012 terperosok ke harga Rp 1.000/unit. Di level ini sendiri banyak investor menanggap saham BUMI sudah sangat murah.

Tercatat investor kawakan Indonesia, Lo Kheng Hong bahkan ikut memborong saham BUMI sejak 2012, alih-alih naik ternyata harga BUMI terus turun hingga menyentuh titik terendahnya di level Rp 50/unit alias gocap pada Juli 2015 karena harga batu bara yang terus anjlok dan isu utang BUMI yang menggunung.

Saham BUMI sempat tidur nyenyak di level gocap selama lebih dari setahun. Hal ini menyebabkan banyak investor menganggap bahwa nyawa BUMI akan berakhir disini setelah lebih dari dua dekade melantai.

Ternyata pasar berkata lain, akhirnya ketika harga batu bara berhasil bangkit ke level harga US% 109/ton pada pertengahan tahun 2016, harga BUMI juga berhasil terkerek naik hingga level Rp 520/unit.

Akan tetapi lagi-lagi BUMI gagal menutup cerita dengan kisah indah. Sejak saat itu, harga saham BUMI terus terkoreksi karena terus diserang berbagai isu miring.

Ditambah pandemi virus corona (covid-19) yang terjadi sejak akhir 2019 di Wuhan, China, terus menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga hari ini. Pandemi corona menjadi sentimen negatif baru bagi pasar modal Indonesia danharga batu bara secara khusus . 

Tekanan yang terjadi di bursa saham Indonesia, membuat hampir semua saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami koreksi dalam. Termasuk saham BUMI yang akhirnya haru kembali tidur di level gocap pada Februari 2020 silam.

Akan tetapi ternyata tidur saham BUMI kali ini tidaklah panjang, selang 7 bulan pada hari ini (3/9/20) harga BUMI kembali melawan ekspektasi pasar dengan bangkit dari kubur.

Pasar berhasil merespons penguatan harga batu bara acuan Newcastle ke atas angka psikologisnya US$ 50/ton di harga US$ 51,7/ton dengan positif.

Selain itu kabar bahwa perseroan mulai menggarap hilirisasi yang bakal memberikan nilai tambah besar atas produk batu baranya juga berhasil membuat harga BUMI bangkit.

BUMI membentuk konsorsium bersama Bakrie Capital, PT Ithaca Resources, dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$) di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Menurut AirProduct, proyek skala global tersebut memungkinkan produksi metanol hingga 2 juta per ton per tahun, yang berasal dari batu bara sebanyak 5 juta-6 juta ton per tahun. Produksi ditargetkan efektif dimulai pada tahun 2024.

Anak usaha BUMI yakni PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga sudah bangkit dari level terendahnya gocap terlebih dahulu dari induk usahanya. Terpantau harga BRMS hari ini stagnan di level Rp 55/unit.

Tentunya pertanyaan yang muncul di benak para pelaku pasar adalah apakah saham BUMI bisa kembali berjaya seperti dulu? Mungkin hanya waktulah yang tahu jawabanya.

Related Regular News: