
Harga kontrak futures (berjangka) batu bara termal ICE Newcastle sudah menyentuh level tertingginya hampir dalam 2 tahun terakhir. Kini harga kontrak yang aktif ditransaksikan di pasar tersebut sedang konsolidasi di US$ 90/ton.
Sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) harga batu legam tersebut telah naik 9,79%. Reli bahan bakar fosil ini dimulai sejak pertengahan Oktober. Apabila ditarik dari periode tersebut hingga akhir perdagangan pekan lalu harga batu bara telah meningkat 62,74%.
Dengan kenaikan yang pesat tersebut, masihkah harga komoditas energi unggulan Indonesia dan Australia lanjut reli? Jawabannya masih. Ada beberapa katalis yang berpotensi besar membuat harga batu bara bergerak ke utara.
Ketatnya pasokan batu bara di China menjadi salah satu pemicu utama melesatnya harga komoditas ini. Sejak Oktober kebutuhan listrik China meningkat, tetapi produksi batu baranya drop. Di saat yang sama Negeri Panda masih menerapkan kebijakan impor yang ketat.
Memasuki periode musim dingin di akhir tahun kebutuhan untuk pemanas meningkat. Sayang produksi batu bara lokal tidak mencukupi untuk menyuplai kebutuhan listrik yang tinggi. Alhasil harga batu bara lokal China melesat tajam.
Harga batu bara termal acuan China Qinhuangdao 5.500 Kcal/kg, kini sudah tembus RMB 900/ton, jauh melampaui rentang target yang dipatok pemerintah China di RMB 500 - 570/ton.
Kendati pemerintah China terus berupaya untuk meningkatkan produksi batu bara lokalnya dan merelaksasi kebijakan impor, harga masih terus meroket. Hal ini mengakibatkan selisih (spread) harga batu bara China dengan batu bara Australia dan Indonesia semakin lebar.
Spread harga batu bara lokal China dengan harga batu bara Newcastle Australia dan batu bara acuan RI kini sudah tembus level tertingginya sejak tahun 2011. Untuk spread harganya saja tanpa memperhitungkan biaya pengiriman sudah mencapai lebih dari US$ 70/ton.
Spread yang semakin lebar seharusnya akan membuat sektor industri dan utilitas China beralih ke impor untuk memenuhi kebutuhan batu baranya. Hubungan Australia dengan China yang retak membuat Indonesia diuntungkan.
China memang sudah meneken komitmen untuk mengimpor batu bara lebih banyak dari Indonesia di tahun ini. China diperkirakan akan membeli batu bara Indonesia senilai US$ 1,47 miliar atau sekitar Rp 20,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$) pada 2021.
Hal tersebut berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia ( APBI ) dengan China Coal Transportation and Distribution yang ditandatangani pada Rabu (25/11/2020).
Komitmen perdagangan Indonesia dan China yang terjalin ini tentunya menjadi katalis positif untuk harga batu bara serta kinerja para produsen komoditas energi primer ini di Tanah Air.
"Batu bara terbukti sangat tangguh, sementara beberapa negara bergerak untuk mempercepat penghentian pembangkit batu bara, secara keseluruhan pembangkit berbahan bakar batu bara di Asia masih on track meningkat untuk beberapa tahun mendatang," kata Alex Whitworth, direktur riset di konsultan Wood Mackenzie.
"Kekurangan listrik dan harga gas spot yang sangat tinggi musim dingin ini mengingatkan pemerintah, bisnis, dan konsumen akan pentingnya batu bara," katanya.
Ketika harga gas melambung tinggi maka ada kecenderungan orang-orang akan beralih ke batu bara yang lebih murah dan efisien secara biaya. Inilah yang menjadi katalis positif untuk harga batu bara.
Selain ketatnya pasokan domestik China, pemulihan permintaan batu bara global dan harga gas yang meroket tajam, ada satu lagi katalis yang berpotensi mengerek naik harga komoditas ini lebih tinggi.
Adanya potensi commodity supercycle pasca krisis Covid-19 banyak diramalkan oleh ekonom dan analis. Era suku bunga murah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan akan energi yang meningkat akan mengangkat harga-harga komoditas mulai dari pertambangan, migas hingga pertanian.
Apabila berkaca pada krisis ekonomi terdekat yakni Global Fnancial Crises 2008, harga batu bara sempat longsor. Namun setelah itu tren bullish harga batu bara dimulai pada 2009 dan berlangsung selama dua tahun hingga 2011. Harga batu bara sempat tembus hampir ke US$ 140/ton kala itu sebelum akhirnya kembali tertekan.
Siklus kedua batu legam kembali datang setelah pada tahun 2016 pada awal tahun harga kontrak batu bara Newcastle sempat anjlok level US$ 50/ton sama persis dengan apa yang terjadi pada tahun 2020 kemarin sebelum akhirnya harga batu bara kembali reli naik.
Di posisi tertingginya pada siklus kedua, batu bara sempat diperdagangkan di harga US$ 115/ton. Melihat kondisi seperti sekarang ini bukan tak mungkin harga batu bara untuk lanjut reli. Harga batu bara berpeluang naik ke US$ 95/ton bahkan ke US$ 100/ton.
Dengan melesatnya harga komoditas batu bara tentunya ini akan menguntungkan saham-saham produsen batu bara, akan tetapi mana saham batu bara yang secara historis paling diuntungkan dengan kenaikan harga kontrak batu bara Newcastle?
Dapat dilihat dari grafik di atas pada kedua siklus batu bara, saham batu bara yang menjadi pemenang dalam urusan capital gain adalah PT Petrosea Tbk (PTRO) pada siklus batu bara 2008-2016 dan induk usaha PTRO yakni PT Indika Energy Tbk (INDY) pada siklus batu bara 2016-2020.
Tercatat pada siklus batu bara pertama tepatnya April 2012, PTRO mampu melesat kencang hingga 1.164% atau kenaikan hingga 11 kali lipat. Sedangkan pada puncak kejayaanya Januari 2018, INDY terbang hingga 4.074% alias kenaikan sebesar 40 kali lipat.
Kencangnya pertumbuhan harga saham Grup Indika ketika harga batu bara Newcastle terbang tentunya terjadi karena perseroan merupakan salah satu perusahaan batu bara dalam negeri yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga batu bara Newcastle dibandingkan dengan emiten batu bara lain.
Hal ini terjadi karena portofolio produk batu bara Indika Energy yang diproduksi oleh Kideco Jaya Agung yang merupakan anak usaha INDY merupakan batu bara termal yang nilai kalorinya cenderung lebih tinggi dibanding dengan produsen lain.
Rata-rata nilai kalori batu bara KJA adalah 4.600 Kcal/Kg. Nilai kalori yang tinggi membuat rata-rata harga jual (ASP) juga tinggi. Di saat yang sama profitabilitas dari INDY juga masih tetap terjaga. Menurut Fitch Ratings, INDY termasuk salah satu produsen batu bara lokal yang memiliki profitabilitas tinggi.
Nilai EBITDA/ton batu bara yang dihasilkan masih tinggi artinya perusahaan mampu untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk menambang si batu hitam. Dengan asumsi cash cost (diluar royalti) yang cenderung stabil dan dibarengi dengan kenaikan ASP maka akan menjadi positif untuk bottom line perusahaan.
Lebih lanjut Fitch Ratings menjelaskan bahwa dengan cadangan batu bara yang besar yakni mencapai 535 juta ton tetapi produksinya relatif kecil sebesar 34 juta ton per tahun, INDY masih mungkin untuk memangkas biaya produksi ketika harga batu bara anjlok signifikan.
Hal ini juga dibuktikan dengan kinerja KJA yang mampu menurunkan cash cost (di luar royalti) mencapai 11% (yoy) pada 9M20 ketika ASP drop 15%. EBITDA/ton KJA pun masih positif di angka US$ 4,25.
Keunggulan cash cost INDY sendiri ditranslasikan menjadi sangat rendahnya harga batu bara INDY untuk balik modal alias breakeven di angka US$ 48,79/ton jauh dibandingkan dengan kompetitornya dari dalam negeri yang membutuhkan batu bara di harga sekitar US$ 50/ton untuk balik modal.
Singkat cerita, INDY merupakan market leader di bidang produksi batu bara domestik dengan biaya murah.
Selain itu batu bara yang diproduksi oleh Kideco Jaya Agung juga mayoritas diekspor ke luar negeri yakni sebesar 69% dimana 35% diantaranya diekspor ke China dan hanya 31% yang dijual di dalam negeri.
Hal menyebabkan pergerakan harga batu bara acuan Newcastle akan lebih sensitif terhadap kinerja keuangan INDY dibandingkan dengan emiten lain.
Bandingkan dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang kenaikanya paling moderat diantara emiten batu bara lain ketika harga batu bara Newcastle melesat. Bahkan pada siklus pertama tercatat PTBA hanya mampu terparesiasi hingga 233% sedangkan pada siklus kedua PTBA mampu menanjak hingga 447%.
Hal ini tentu tidak terlepas dari produk batu bara PTBA yang mayoritasnya yakni sebesar 59% di gunakan di dalam negeri oleh klien utamanya yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga penjualan dilakukan dengan Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang diperbaharui sebulan sekali sehingga kinerja keuangan perseroan tidak terlalu sensitif terhadap harga batu bara Newcastle.
Secara valuasi, baik menggunakan valuasi harga dibandingkan dengan nilai bukunya (PBV) dan harga dibandingkan dengan laba bersihnya (PER) saham batu bara yang tergolong paling murah adalah PTRO dengan PBV sebesar 0,64 kali dan PER sebesar 7,84 kali.
Akan tetapi apabila melihat Price/Cash Rationya, INDY menjadi emiten yang paling menarik dipantau dengan P/C ratio sebesar 1,4 kali. Hal ini menunjukkan perseroan memiliki kas atau setara kas per saham yang sangat jumbo (cash rich) dibandingkan dengan harga sahamnya.
Tercatat pada kuartal ketiga tahun 2020 perseroan memiliki kas dan setara kas per saham sebesar Rp 1.272/saham sehingga harga sahamnya di angka Rp 1.790/saham masih tergolong murah.