
Dunia kini berbondong-bondong meninggalkan penggunaan energi fosil, dan beralih kepada energi ramah lingkungan atau energi baru terbarukan (EBT).
Dampak perubahan iklim yang semakin jelas, terutama dari peningkatan suhu global membuat dunia, terutama negara-negara maju memutuskan mulai meninggalkan energi fosil, salah satunya batu bara.
Tak hanya meninggalkan dari sisi konsumsi, namun mereka pun tak lagi berinvestasi maupun mencairkan pinjaman atas apapun yang berkaitan dengan batu bara.
Besarnya tekanan dunia terhadap batu bara tentunya akan berdampak pada Indonesia yang sebagian besar produksi batu baranya diekspor keluar negeri. Pada 2020, dari produksi batu bara 565,21 juta ton, sebesar 330,76 juta ton dijual keluar negeri.
Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid membenarkan jika tekanan pada batu bara kini cukup besar.
Dia mengatakan, tak hanya Uni Eropa yang saat ini sudah mulai membatasi penggunaan batu bara, namun negara Asia lainnya seperti Korea Selatan (Korsel) dan Jepang juga melakukan hal yang sama.
"Jadi, memang tekanan pada batu bara ini cukup besar," paparnya saat diwawancarai CNBC Indonesia, Jumat (30/04/2021).
Dia bercerita, sebelumnya sempat mendapatkan tugas untuk memimpin delegasi RI dalam forum batu bara Asia Tenggara. Dalam forum tersebut menurutnya disepakati jika regional Asia Tenggara masih membutuhkan sumber daya batu bara ini.
Mengantisipasi tekanan di sektor fosil, maka pemanfaatan batu bara diimbangi dengan penggunaan teknologi yang lebih bersih atau clean coal technology, baik critical, super critical, sampai dengan co-firing yang memanfaatkan biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Selain itu, pemanfaatan batu bara di dalam negeri akan semakin ditingkatkan melalui hilirisasi batu bara, salah satunya mengonversi batu bara kadar rendah menjadi dimethyl ether (DME).
"Saya kira sebagaimana diketahui, Presiden tekankan low rank coal (batu bara kalori rendah) dikonversi menjadi Dimethyl Ether (DME), gantikan impor LPG dan lainnya," jelasnya.
Menurutnya kini sudah banyak perusahaan yang berminat ke arah hilirisasi batu bara. Selain proyek gasifikasi yang menghasilkan DME, ada juga syngas dari batu bara untuk menghasilkan produk petrokimia seperti polypropylene.
"Untuk perusahaan yang diskusi dan konsultasi dengan kami, ini akan kembangkan ke arah metanol dan ada juga yang mencoba usulkan underground coal gasification, burning di underground," paparnya.
Dia menekankan bahwa hilirisasi batu bara ini tidak hanya berlaku untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang merupakan kelanjutan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), tapi juga terbuka untuk perusahaan lainnya yang berminat.