
Bertempat di Gedung Menara KADIN Indonesia , permasalahan Persetujuan Lingkungan pasca penerbitan UUCK dan Permen LHK menjadi topik bahasan Asosiasi di sektor pertambangan dengan Pemerintah. Acara yang diselenggarakan oleh APBI-ICMA bersama KADIN Indonesia ini dihadiri oleh Laksmi Widyajayanti selaku Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan, Usaha dan Kegiatan KLHK, Jajat Sudrajat selaku Sub Koordinator Perlindungan Lingkungan KESDM, Tubagus Nugraha selaku Asisten Deputi bidang Pertambangan Kemenko Marvest, Djoko Widajatno selaku Direktur Eksekutif IMA, juga sejumlah perwakilan perusahaan anggota APBI-ICMA.
Dalam paparan KLHK, Laksmi Widyajayanti selaku Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan, Usaha dan Kegiatan yang mewakili Bambang Hendroyono selaku Sekretaris Kementerian LHK, menjelaskan alur Persetujuan Lingkungan yang harus dilengkapi pelaku usaha yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), AMDAL, UKL-UPL, dan SPPL. Menurutnya saat ini adanya amdalnet memang belum sepenuhnya dpaat diterapkan dengan sistem online. Beberapa berkas harus dilakukan manual seperti pada proses validasi pada proses permohonan di PTSP Online yang menyatakan bahwa pemohon memilih jadwal validasi dan menyerahkan berkas permohonan ke PTSP.
Dari proses tersebut, ketidakseragaman sistem tersebutlah yang menjadi pemicu terhambatnya kepengurusan dokumen AMDAL.
Jajat Sudrajat selaku Sub Koordinator Perlindungan Lingkungan Kementerian ESDM menyampaikan bahwa beberapa hambatan yang dialami dan memerlukan perhatian diantaranya sumber daya manusia.
Beberapa hambatan yang dialami dan perlu perhatian: Sumber daya manusia di KLHK yang tidak memadai, keterpaduan/integrasi lintas sektor, pengurusan pertek cukup kompleks sehingga Persetujuan Lingkungan (PL) sulit diterbitkan. Karena data dukung yg dibutuhkan dalam Pertek harus dipenuhi keseluruhan, perlu adanya kajian pertek pembuangan limbah cair ke badan air.
Ia juga menyampaikan terkait perlu adanya evaluasi berkala untuk pengurusan Pertek, PL, sertifikat kelayakan operasi (SLO). Lalu mendorong KLHK untuk memahami bisnis proses karakteristik pertambangan yang dinamis, kondisi di lapangan (pembebasan lahan) sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perubahan dan secara otomatis Pertek dan PL nya juga bisa berubah. Minerba siap terlibat dalam berdiskusi dengan KLHK untuk menentukan standar minimum pengurusan perizinan lingkungan.
Sementara dari Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marvest) yang diwakili Tubagus Nugraha selaku Asisten Deputi bidang Pertambangan menyampaikan bahwa persetujuan lingkungan sebagai salah satu persyaratan dasar sebelum ada izin berusaha, dan atau sebelum kegiatan. Persetujuan lingkungan digunakan sebagai Panduan Pemerintah dalam pengawasan dan Badan Usaha pasca perizinan berusaha diberikan dan Badan Usaha harus paham dengan apa yang dikelolanya. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan sosialisasi, diseminasi dan edukasi kepada Masyarakat/Badan usaha untuk dapat mengetahui, memahami dan menjalankan serta menyelesaikan secara baik semua persyaratan dan proses untuk mendapat persetujuan lingkungan yang dikerjakan sendiri atau dengan bantuan konsultan. Kemenko Marvest menjadi catatan penting terlebih dengan adanya periode waktu yang telah diatur untuk pengurusan izin, seperti 150-270 hari kalender untuk pengurusan proses persetujuan LH (SKKL) dan integrasi dengan persetujuan teknis.
Sejumlah perwakilan pelaku usaha pun turut ikut serta dalam diskusi ini. Salah satunya yaitu dari PT Kartika Selabumi Mining. Ia menyatakan bahwa perusahaan sedang mengurus izin lingkungan dengan tahapan yang cukup panjang karena pada saat pertengahan tahun mengusulkan RKAB peningkatan produksi. Perusahaan sendiri pun sudah berproduksi sejak tahun 2003, dan saat ini memiliki keinginan untuk meningkatkan produksi dari 500 juta ton ke 1 juta ton. Hal tersebut menyebabkan perlunya melakukan revisi RKAB. Pada proses addendum AMDAL ke PDLUK KLHK arahannya harus menyertakan Pertek. Dalam mendapatkan Pertek membutuhkan waktu berbulan-bulan. Dari sini terlihat belum adanya integrasi antar divisi di KLHK. Sehingga terhambatkanya juga persetujuan RKAB di KESDM.
Sama halnya dengan Kartika Selabumi Mining, PT Energi Batubara Lestari pun tak luput dari kesulitan mengurus dokumen AMDAL. Dalam pengurusan AMDAL untuk Feasibility Study (FS) arahan KLHK harus ada kajian tekno ekonomi, artinya FS nya harus diubah terlebih dahulu. Saat ini produksi 2,5 juta ton dan tahun depan rencananya 3,5 juta ton mengingat persyaratannya tidak dimungkinan terjadi sedangkan RKAB harus disubmit bulan Oktober ini sehingga rencana produksi dibatalkan dan tetap menggunakan FS yang lama.
Dari APBI, Haryanto Damanik selaku Sekretaris Jenderal APBI-ICMA menegaskan bahwa permasalahan ini harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Ia menilai dengan melihat peluang investasi didepan, bahwa saat ini merupakan kesempatan yang baik dari sisi industri pertambangan khususnya pertambangan batubara karena harga komoditas yang sangat baik. Hal tersebut tentunya dapat dimanfaatkan dengan meningkatkan produksi mereka melalui persetujuan RKAB. Namun hal tersebut justru banyak yang terhambat pada proses perizinan lingkungan dan revisi AMDAL. Bahkan akibat terhambatnya proses perizinan tersebut beberapa perusahaan memutuskan untuk tidak menaikan produksi dan menggunakan data tahun sebelumnya. Padahal di saat seperti ini, dia masih bisa meningkatkan kapasitas produksi untuk meningkatkan pendapatan negara juga. Dengan adanya hambatan tersebut APBI-ICMA selaku asosiasi sendiri pun berpendapat bahwa pengurusan izin AMDAL dapat dimudahkan dan dibuat tim kecil pada kepengurusan tersebut.
Agenda ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi terkini serta memetakan peluang investasi di industri batubara. Selain itu juga sebagai awal untuk menginventarisasikan persoalan yang menghambat proses perizinan lingkungan sehingga dapat memberikan catatan yang substansial untuk menjadi paper dasar masukan kepada Pemerintah.