KOMPAS.com – Setiap 28 September, Indonesia memperingati Hari Pertambangan dan Energi. Ini menjadi momen penting untuk merefleksikan masa depan sektor pertambangan nasional, termasuk industri batu bara. Pasalnya, di tengah tantangan global terkait transisi energi, industri batu bara masih menjadi pilar ketahanan energi nasional. Bahkan, sektor ini tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang pesat. Laporan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuktikan hal tersebut. Pada 2023, produksi batu bara nasional mencapai 775 juta ton. Angka ini melampaui target yang ditetapkan sebesar 695 juta ton.
Pencapaian itu menandai peningkatan produksi yang konsisten sejak 2020. Kala itu, produksi batu bara tercatat sebesar 564 juta ton. Tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, lonjakan produksi batu bara juga mendorong ekspor ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari total produksi 775 juta ton pada 2023, sebanyak 518 juta ton batu bara diekspor, sedangkan 213 juta ton digunakan untuk memenuhi kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Angka tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia.
Tantangan industri batu bara Di balik pertumbuhan yang mengagumkan itu, industri batu bara menghadapi tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Mulai dari koreksi harga, kebijakan negara tujuan impor, hingga isu lingkungan menjadi hambatan yang harus diatasi. Dikutip dari Kompas.id, Rabu (1/5/2024), koreksi harga komoditas batu bara membuat kinerja perusahaan tambang melemah sepanjang tiga bulan pertama 2024. Tantangan harga komoditas batu bara dinilai sejumlah pihak akan berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.
Seperti diwartakan Kontan.id, Rabu (26/6/2024), Bank Dunia memproyeksikan tren koreksi harga batu bara diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2025, dengan proyeksi penurunan sebesar 28 persen pada 2024 dan 12 persen pada 2025.
Selain itu, Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan target net zero emission yang diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, mengharuskan adanya transformasi besar dalam sektor energi. Rencana transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan menjadi agenda penting yang harus direspons oleh industri batu bara. Di tengah berbagai tantangan tersebut, perusahaan-perusahaan pertambangan dituntut untuk berinovasi dan beradaptasi. Mereka harus mencari cara untuk tetap relevan dalam lanskap energi yang berubah, seraya mengurangi dampak lingkungan dari operasional.
PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), sebagai salah satu pemain utama industri batu bara nasional, memainkan peran krusial dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagai anggota BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID, perusahaan tidak hanya fokus pada peningkatan produksi dan distribusi, tetapi juga aktif dalam pengembangan inovasi energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
1. Hilirisasi batu bara
PTBA telah melakukan sejumlah gebrakan inovatif untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Salah satunya adalah hilirisasi batu bara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ini. Pada Senin (15/7/2024), PTBA bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memulai pilot project konversi batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet untuk bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion). Pilot project ini merupakan yang pertama di dunia. Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arsal Ismail mengatakan, pihaknya ingin menghadirkan energi tanpa henti untuk negeri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mewujudkan industri batu bara dengan clean technology di Indonesia.
"Pilot project implementasi Anode Sheet berbahan baku batu bara merupakan yang pertama di dunia sehingga dapat menjadi salah satu terobosan penting dalam hilirisasi batu bara. Pengembangan batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet juga akan mendukung kemajuan industri kendaraan listrik di dalam negeri,” tuturnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (27/9/2024).
2. Gunakan teknologi ramah lingkungan untuk PLTU PTBA juga memperkuat pasar domestik melalui proyek PLTU Sumsel-8. PLTU Mulut Tambang Sumsel-8 dengan kapasitas 2x660 MW ini resmi beroperasi secara komersial sejak 7 Oktober 2023. Proyek tersebut adalah bagian dari Program Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik di Sumatera, PLTU MT Sumsel-8 berperan penting dalam memenuhinya
PLTU yang juga dikenal sebagai PLTU Tanjung Lalang itu dibangun melalui kerja sama strategis antara PTBA dengan China Huadian Hongkong Company Ltd (CHDHK). “PLTU Tanjung Lalang menggunakan teknologi supercritical yang efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, PLTU ini juga menerapkan teknologi flue gas desulfurization (FGD) untuk menekan emisi gas buang,” ucap Arsal. Dengan beroperasinya PLTU tersebut, PTBA tidak hanya mendukung ketahanan energi nasional, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor. PLTU Sumsel-8 membutuhkan batu bara hingga 5,4 juta ton per tahun yang akan dipasok dari tambang lokal PTBA.
3. Pengembangan energi terbarukan PTBA secara proaktif menghadapi isu lingkungan dengan berbagai inovasi yang berfokus pada dekarbonisasi dan energi bersih. Salah satu langkah penting adalah diversifikasi bisnis ke energi terbarukan. Perusahaan sejauh ini telah membangun PLTS di Bandara Soekarno-Hatta bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero), yang sudah beroperasi penuh sejak Oktober 2020. PLTS tersebut berkapasitas maksimal 241 kilowatt-peak (kWp) dan terpasang di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC). Selain dengan Angkasa Pura II, PTBA juga bekerja sama dengan Jasa Marga Group untuk pengembangan PLTS di jalan-jalan tol. PLTS berkapasitas 400 kWp di Jalan Tol Bali-Mandara telah selesai dibangun dan diresmikan pada 21 September 2022.
Perusahaan pun bekerja sama dengan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) dalam pembangunan PLTS berkapasitas 23,07 kWp yang mencapai tahap COD pada Juni 2023. Proyek pembangunan PLTS di lahan bekas tambang terus dijajaki untuk memaksimalkan potensi lahan tambang menjadi sumber energi terbarukan. Lebih lanjut lagi, PTBA juga tengah mengembangkan pengembangan energi biomassa dari Kaliandra Merah. Tanaman ini dipilih karena kayunya memiliki nilai kalor yang tinggi, pertumbuhannya cepat, mudah tumbuh pada berbagai kondisi, serta cepat bertunas. Kaliandra merah juga menyerap karbon dari udara untuk memproduksi biomassa. Dengan mencampurkan biomassa dan batu bara, maka emisi dapat dikurangi.
Penanaman kaliandra merah sendiri dilakukan di atas lahan seluas 80 hektare (ha). Langkah ini berpotensi mengurangi emisi karbon sebesar 119,18 ton per ha per tahun. Selain itu, tanaman tersebut juga menjadi penyimpan biomassa sebesar 11.805 ton untuk dijadikan wood pellet dengan kalori berkisar 4.500-4.700 kcal/kg, yang digunakan untuk co-firing di PLTU.
4. Terapkan good mining practice PTBA menerapkan praktik pertambangan yang baik (good mining practice) melalui berbagai inovasi teknologi dan pendekatan ramah lingkungan. Salah satu inovasi penting adalah pengembangan lahan basah buatan (constructed wetland) untuk pemurnian air tambang.
Aplikasi constructed wetland di PTBA meliputi dua model, yaitu floating wetland system dan swampy forest. Floating wetland sendiri menggunakan pipa paralon sebagai konstruksi apung di atas kolam yang berisi air asam tambang. Pipa diisi dengan bahan organik berupa bokashi dan pupuk tankos, lalu ditanami tumbuhan untuk menyerap logam berat. Sementara itu, model swampy forest mengombinasikan tanaman air dengan jenis tanaman rawa. Berbagai tanaman dimanfaatkan untuk menyerap kandungan logam berat berupa besi (Fe) dan mangan (Mn), termasuk akar wangi, melati air, lonkida, jelutung rawa, balangerang, gelam, dan kayu putih. Sistem ini efektif dalam menghilangkan bahan pencemar dan menetralkan air asam tambang.
Selain itu, PTBA juga menerapkan eco mechanized mining, yaitu menggantikan peralatan tambang berbahan bakar fosil dengan peralatan elektrik. Saat ini, PTBA telah mengoperasikan 7 unit shovel listrik (PC3000-6E), 40 unit hybrid dump truck (Belaz-75135), dan 6 pompa tambang berbasis listrik. Arsal menjelaskan bahwa penggunaan alat-alat tambang berbasis listrik itu menghasilkan penghematan bahan bakar minyak (BBM) jenis diesel yang signifikan. "Penggunaan alat-alat tambang berbasis listrik ini menghasilkan penghematan bahan bakar minyak jenis diesel hingga 7 juta liter per tahun dan mereduksi emisi sebesar 19.777 tCO2e," kata Arsal.
Selain itu, PTBA telah mengoperasikan 5 unit bus listrik di Pelabuhan Tarahan dan 10 unit bus listrik di Unit Pertambangan Tanjung Enim. Total, telah ada 15 unit bus listrik yang dioperasikan PTBA. Inisiatif ini diprediksi bakal mengurangi emisi karbon hingga 16 ton CO2 per tahun per bus. PTBA juga mengembangkan aplikasi Corporate Information System and Enterprise Application (CISEA) untuk memantau aktivitas pertambangan secara real-time melalui ponsel. Transformasi digital merupakan bagian dari langkah PTBA untuk menjalankan good mining practice. Penggunaan teknologi digital juga meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan usaha. Dengan berbagai inovasi tersebut, PTBA berada satu langkah di depan dalam mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi sektor pertambangan batu bara, baik dari sisi ekonomi, lingkungan, maupun kebijakan. Langkah-langkah tersebut tidak hanya memperkuat posisi PTBA dalam industri batu bara, tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan dalam transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Melalui inovasi-inovasi tersebut, PTBA membuktikan bahwa industri batu bara dapat beradaptasi dengan tuntutan transisi energi dan keberlanjutan. Perusahaan ini menunjukkan bahwa dengan inovasi yang tepat, industri batu bara dapat tetap menjadi pilar penting dalam perekonomian dan energi Indonesia, seraya berkontribusi pada upaya menjaga lingkungan dan mencapai target emisi karbon netral.