APBI turut hadir dalam Focus on Group Discussion (FGD)
seputar kesiapan industri dalam menghadapi Carbon Border Adjustment Mechanism
(CBAM), Senin (12/8/2024). Diskusi ini sendiri sedianya memfokuskan industri
selain batu bara untuk mempersiapkan aturan CBAM yang terdekat akan
diberlakukan di Australia. CBAM, yang diperkenalkan oleh Uni Eropa
(UE), adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencegah kebocoran karbon dengan
menetapkan harga emisi karbon pada barang-barang yang diimpor ke UE.
Berdasarkan kebijakan yang akan diberlakukan pada tahun
2026, manfaat dari pungutan CBAM terhadap produk impor dari Indonesia justru
diterima oleh Uni Eropa, bukan Indonesia. CBAM dari UE akan berlaku pada enam
produk Indonesia yang diimpor oleh UE, yaitu besi dan baja, aluminium, pupuk,
hidrogen, semen, serta listrik.
CBAM tidak hanya berdampak pada enam sektor tersebut, tetapi
juga memiliki implikasi besar bagi industri pertambangan batu bara. Misalnya
besi dan baja, yang dalam rangkaian proses produksinya masih menggunakan batu
bara kalori tinggi. Industri ini, yang sebagian hasil produksinya diekspor ke
negara-negara Eropa, harus menyesuaikan diri dengan persyaratan baru terkait
pelaporan emisi karbon dan kemungkinan biaya tambahan akibat kebijakan ini.
Dalam FGD tersebut, Sutrisno Iwantono dan Liana Bratasida
dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan pentingnya acara ini
sebagai acuan berkelanjutan bagi pemerintah untuk mempersiapkan dan melindungi
para pelaku usaha dalam negeri sebelum penerapan CBAM. Pelibatan perwakilan
masyarakat sebelum penerbitan aturan atau kebijakan baru sangatlah penting.
Acara ini juga dihadiri oleh beberapa komunitas publik dan
institusi di Indonesia, termasuk perwakilan dari berbagai kementerian, asosiasi
bisnis, dan akademisi. Terdapat tiga hal utama yang menjadi perhatian publik,
khususnya pelaku usaha, terkait penerapan CBAM: bagaimana aturan ini bisa
sinkron secara kelembagaan, metodologi pungutan yang akan diberlakukan, dan
evaluasi terhadap harga pajak karbon di Indonesia.
APBI perlu mempersiapkan anggotanya untuk menghadapi
tantangan ini. Dengan CBAM yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2026,
penting bagi industri untuk mulai mengadopsi praktik-praktik rendah karbon dan
memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan. Fokus APBI juga adalah
mendukung pemerintah dalam menyinkronkan aturan CBAM di Indonesia bagi pelaku
usaha batu bara sebagai bagian dari rantai pasok global.
FGD ini bertujuan untuk mengidentifikasi langkah-langkah
yang perlu diambil oleh industri pertambangan, kesiapan regulasi pemerintah,
serta sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung penerapan kebijakan
ini.
Read More
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan mengungkapkan bahwa Kemenko Marves akan memimpin gugus tugas penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya saat memberikan sambutan International and Indonesia Carbon Capture and Storage (CCS) Forum 2024 di Jakarta, Rabu (31/07/2024).
“Kemenko Marves akan sepenuhnya mendukung peta jalan CCS nasional kita, yang disusun oleh Pusat CCS Indonesia, dengan mencakup rencana bisnis jangka panjang dari seluruh rantai nilai CCS yang terintegrasi,” kata Menko Luhut di lokasi.
Menko Luhut memaparkan, kolaborasi ini merupakan faktor penting dalam membentuk ekosistem CCS baik di dalam negeri maupun lintas batas. Peta jalan ini juga akan membuka peluang investasi dan kemitraan dengan semua pihak, termasuk perusahaan swasta baik di dalam maupun luar negeri.
“Saya yakin bahwa upaya kolektif kita untuk mendefinisikan kerangka regulasi akan menyampaikan pesan yang jelas. CCS tidak hanya tentang pengurangan emisi di Indonesia dan negara-negara tetangga saja, tetapi juga tentang mengubah investasi menjadi pendapatan, lapangan kerja, dan inovasi, menciptakan warisan kemakmuran dan keberlanjutan bagi anak-anak kita,” tegas Menko Luhut.
Dalam hal ini, Menko Luhut juga menjelaskan bahwa negara-negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat memainkan peran penting dalam pengelolaan karbon global. Karena kawasan ini terus mengalami pertumbuhan industri dan permintaan energi yang signifikan, penanganan emisi menjadi prioritas. “Mengenai hal tersebut, CCS menghadirkan teknologi yang menjanjikan yang telah diterapkan di negara-negara global,” ujarnya.
“Setelah pengumuman Peraturan Presiden No. 14/2024 tentang kegiatan CCS, hal ini menunjukkan komitmen dan keseriusan kita dalam mengimplementasikan teknologi ini sebagai bagian dari inisiatif dekarbonisasi,” tambahnya.
Pemerintah terus menjaga momentum tersebut dengan menyiapkan sejumlah kerangka turunan, termasuk peraturan menteri tentang area injeksi karbon yang dipimpin oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, perizinan investasi yang diatur oleh Kementerian Investasi, dan juga penerapan standar teknis CCS yang diatur oleh Badan Standardisasi Nasional.
“Kami memahami bahwa CCS memerlukan dukungan dari banyak kantor di Indonesia, oleh karena itu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi akan memimpin gugus tugas penerapan CCS di Indonesia untuk mempercepat regulasi turunan yang diperlukan,” pungkas Menko Luhut.
Read More
Dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) berperan mendukung transisi energi global. EITI bertujuan untuk mengungkapkan pendapatan dari sumber daya alam seperti migas, batubara dan mineral yang memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. APBI-ICMA sebagai salah satu asosiasi yang menjadi bagian dari Multi Stakeholder Group (MSG) EITI Indonesia turut hadir dalam webinar bertema “Memahami Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Ekstraktif” yang digagas oleh Pusdatin ESDM dan PWYP (31/07).
Kementerian ESDM melalui Pusdatin saat ini sedang menyusun roadmap implementasi perdagangan karbon di sektor lain selain pembangkit listrik, tapi juga sektor pertambangan dan migas. Untuk mendukung hal itu, tentunya data-data inventori emisi harus diperhatikan. Kedepannya ada aktivitas di tambang yang bisa dijadikan potret untuk upaya pengurangan emisi. Di dalam E-NDC target penurunan emisi sebesar 31,89% pada tahun 2030 diterjemahkan menjadi angka 912 juta ton CO2eq untuk seluruh sektor. Sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 358 juta ton CO2eq di mana emisi GRK nasional sebagai salah salah bagiannya. Berdasarkan data Pusdatin ESDM emisi GRK untuk sub sektor batubara mencapai 4,78 persen total emisi GRK sektor energi Indonesia pada tahun 2022.
Indonesia menjadi salah satu negara yang bergabung dengan EITI, dimana terdapat berkomitmen untuk mengungkapkan informasi pendapatan yang diterima dari sektor pertambangan dan memastikan aksesibilitas informasi tersebut bagi publik. Dalam pedoman EITI memuat persyaratan pengungkapan kontrak, transparansi pembayaran, informasi dampak lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Transisi energi bisa menjadi peluang, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan keamanan energi. Namun, tantangannya juga ada, seperti kebutuhan investasi awal yang besar, menggunakan teknologi canggih dan dampak sosial seperti kehilangan pekerjaan di sektor energi fosil.
Laporan yang dirilis oleh EMBER Climate mengungkapkan pentingnya pelaporan emisi gas rumah kaca (GHG) dan peran transparansi dalam upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri pertambangan batubara. Pelaporan emisi metana sangat penting karena membantu perusahaan batu bara memahami skala masalah, menilai risiko lingkungan dan investasi, serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang efektif. Sayangnya, sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia belum sepenuhnya melaporkan emisi metana mereka.
Hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara besar di Indonesia yang melaporkan emisi metana tambang batu bara dalam laporan keberlanjutan mereka, seperti yang Indika Energy Tbk, ITM Tbk, Golden Energy Mines Tbk. dan Bukit Asam Tbk. Selain itu, beberapa perusahaan batu bara sudah memulai upaya untuk mengurangi emisi, termasuk menggunakan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan kompensasi karbon. Namun, belum ada perusahaan yang memiliki rencana mitigasi khusus untuk emisi gas metana tambang batu bara. Perusahaan perlu menilai ulang risiko terkait perubahan iklim dan peraturan lingkungan yang ketat. Diversifikasi bisnis dapat mengurangi risiko ini dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menginvestasikan sumber daya dalam energi terbarukan dan teknologi hijau lainnya.
Indika Energy dan Adaro Energy, telah menyatakan komitmen untuk mencapai emisi nol bersih masing-masing pada tahun 2050 dan 2060. Upaya ini mencakup penggunaan energi terbarukan dan pengembangan kendaraan listrik, namun belum ada rencana khusus untuk mitigasi emisi gas metana tambang batu bara.
Laporan EMBER Climate menyoroti bahwa pelaporan emisi dan transparansi adalah langkah penting dalam upaya global untuk mencapai keberlanjutan. Meskipun beberapa perusahaan telah menunjukkan komitmen terhadap pelaporan emisi, tapi masih banyak yang perlu dilakukan. Diversifikasi bisnis dan adopsi teknologi hijau merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Kemudian, Tekmira menyampaikan terkait dengan pengumpulan data emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor pertambangan batubara dan mineral. Perhitungan emisi GRK dilakukan berdasarkan aktivitas pertambangan dan faktor emisi spesifik yang telah ditentukan. Tekmira menggunakan metodologi internasional untuk menghitung emisi dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, emisi metana dari tambang, dan proses industri lainnya.
Estimasi total emisi GRK dari sektor pertambangan batubara dilakukan dengan mengintegrasikan data dari berbagai perusahaan tambang. Hasilnya menunjukkan kontribusi signifikan sektor ini terhadap emisi nasional, sehingga diperlukan upaya pengurangan yang lebih intensif.
Tekmira menekankan pentingnya pelaporan emisi yang transparan dan akurat sebagai langkah awal dalam upaya pengurangan emisi GRK. Perusahaan tambang harus mengadopsi teknologi hijau dan praktik terbaik dalam operasinya untuk mengurangi dampak lingkungan.
Harapannya perusahaan tambang bisa menyampaikan transparansi data dari sektor industri ekstraktif. Dengan komitmen yang kuat, sektor pertambangan dapat berkontribusi positif dalam mencapai target nasional pengurangan emisi dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
Read More
RI Mau Ekspor Listrik Ke Singapura, Ini Pemasoknya
Jokowi Segera Umumkan Komitmen Energi Hijau Baru, Tambah 21 GW EBT Hingga 2040
Didukung Korea, Kementerian ESDM-UNDP Hadirkan PLTS
Tutup Mata Limbah Batu Bara
Coal India Plans To Start Mining Lithium, Nickel, Cobalt, Molybdenum, Graphite, Phosphorus And Potash In Foreign Countries
RI Mau Ekspor Listrik Ke Singapura, Ini Pemasoknya
Jokowi Segera Umumkan Komitmen Energi Hijau Baru, Tambah 21 GW EBT Hingga 2040
Didukung Korea, Kementerian ESDM-UNDP Hadirkan PLTS
APBI turut hadir dalam Focus on Group Discussion (FGD)
seputar kesiapan industri dalam menghadapi Carbon Border Adjustment Mechanism
(CBAM), Senin (12/8/2024). Diskusi ini sendiri sedianya memfokuskan industri
selain batu bara untuk mempersiapkan aturan CBAM yang terdekat akan
diberlakukan di Australia. CBAM, yang diperkenalkan oleh Uni Eropa
(UE), adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencegah kebocoran karbon dengan
menetapkan harga emisi karbon pada barang-barang yang diimpor ke UE.
Berdasarkan kebijakan yang akan diberlakukan pada tahun
2026, manfaat dari pungutan CBAM terhadap produk impor dari Indonesia justru
diterima oleh Uni Eropa, bukan Indonesia. CBAM dari UE akan berlaku pada enam
produk Indonesia yang diimpor oleh UE, yaitu besi dan baja, aluminium, pupuk,
hidrogen, semen, serta listrik.
CBAM tidak hanya berdampak pada enam sektor tersebut, tetapi
juga memiliki implikasi besar bagi industri pertambangan batu bara. Misalnya
besi dan baja, yang dalam rangkaian proses produksinya masih menggunakan batu
bara kalori tinggi. Industri ini, yang sebagian hasil produksinya diekspor ke
negara-negara Eropa, harus menyesuaikan diri dengan persyaratan baru terkait
pelaporan emisi karbon dan kemungkinan biaya tambahan akibat kebijakan ini.
Dalam FGD tersebut, Sutrisno Iwantono dan Liana Bratasida
dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan pentingnya acara ini
sebagai acuan berkelanjutan bagi pemerintah untuk mempersiapkan dan melindungi
para pelaku usaha dalam negeri sebelum penerapan CBAM. Pelibatan perwakilan
masyarakat sebelum penerbitan aturan atau kebijakan baru sangatlah penting.
Acara ini juga dihadiri oleh beberapa komunitas publik dan
institusi di Indonesia, termasuk perwakilan dari berbagai kementerian, asosiasi
bisnis, dan akademisi. Terdapat tiga hal utama yang menjadi perhatian publik,
khususnya pelaku usaha, terkait penerapan CBAM: bagaimana aturan ini bisa
sinkron secara kelembagaan, metodologi pungutan yang akan diberlakukan, dan
evaluasi terhadap harga pajak karbon di Indonesia.
APBI perlu mempersiapkan anggotanya untuk menghadapi
tantangan ini. Dengan CBAM yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2026,
penting bagi industri untuk mulai mengadopsi praktik-praktik rendah karbon dan
memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan. Fokus APBI juga adalah
mendukung pemerintah dalam menyinkronkan aturan CBAM di Indonesia bagi pelaku
usaha batu bara sebagai bagian dari rantai pasok global.
FGD ini bertujuan untuk mengidentifikasi langkah-langkah
yang perlu diambil oleh industri pertambangan, kesiapan regulasi pemerintah,
serta sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung penerapan kebijakan
ini.
Read More
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan mengungkapkan bahwa Kemenko Marves akan memimpin gugus tugas penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya saat memberikan sambutan International and Indonesia Carbon Capture and Storage (CCS) Forum 2024 di Jakarta, Rabu (31/07/2024).
“Kemenko Marves akan sepenuhnya mendukung peta jalan CCS nasional kita, yang disusun oleh Pusat CCS Indonesia, dengan mencakup rencana bisnis jangka panjang dari seluruh rantai nilai CCS yang terintegrasi,” kata Menko Luhut di lokasi.
Menko Luhut memaparkan, kolaborasi ini merupakan faktor penting dalam membentuk ekosistem CCS baik di dalam negeri maupun lintas batas. Peta jalan ini juga akan membuka peluang investasi dan kemitraan dengan semua pihak, termasuk perusahaan swasta baik di dalam maupun luar negeri.
“Saya yakin bahwa upaya kolektif kita untuk mendefinisikan kerangka regulasi akan menyampaikan pesan yang jelas. CCS tidak hanya tentang pengurangan emisi di Indonesia dan negara-negara tetangga saja, tetapi juga tentang mengubah investasi menjadi pendapatan, lapangan kerja, dan inovasi, menciptakan warisan kemakmuran dan keberlanjutan bagi anak-anak kita,” tegas Menko Luhut.
Dalam hal ini, Menko Luhut juga menjelaskan bahwa negara-negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat memainkan peran penting dalam pengelolaan karbon global. Karena kawasan ini terus mengalami pertumbuhan industri dan permintaan energi yang signifikan, penanganan emisi menjadi prioritas. “Mengenai hal tersebut, CCS menghadirkan teknologi yang menjanjikan yang telah diterapkan di negara-negara global,” ujarnya.
“Setelah pengumuman Peraturan Presiden No. 14/2024 tentang kegiatan CCS, hal ini menunjukkan komitmen dan keseriusan kita dalam mengimplementasikan teknologi ini sebagai bagian dari inisiatif dekarbonisasi,” tambahnya.
Pemerintah terus menjaga momentum tersebut dengan menyiapkan sejumlah kerangka turunan, termasuk peraturan menteri tentang area injeksi karbon yang dipimpin oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, perizinan investasi yang diatur oleh Kementerian Investasi, dan juga penerapan standar teknis CCS yang diatur oleh Badan Standardisasi Nasional.
“Kami memahami bahwa CCS memerlukan dukungan dari banyak kantor di Indonesia, oleh karena itu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi akan memimpin gugus tugas penerapan CCS di Indonesia untuk mempercepat regulasi turunan yang diperlukan,” pungkas Menko Luhut.
Read More
Dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) berperan mendukung transisi energi global. EITI bertujuan untuk mengungkapkan pendapatan dari sumber daya alam seperti migas, batubara dan mineral yang memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. APBI-ICMA sebagai salah satu asosiasi yang menjadi bagian dari Multi Stakeholder Group (MSG) EITI Indonesia turut hadir dalam webinar bertema “Memahami Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Ekstraktif” yang digagas oleh Pusdatin ESDM dan PWYP (31/07).
Kementerian ESDM melalui Pusdatin saat ini sedang menyusun roadmap implementasi perdagangan karbon di sektor lain selain pembangkit listrik, tapi juga sektor pertambangan dan migas. Untuk mendukung hal itu, tentunya data-data inventori emisi harus diperhatikan. Kedepannya ada aktivitas di tambang yang bisa dijadikan potret untuk upaya pengurangan emisi. Di dalam E-NDC target penurunan emisi sebesar 31,89% pada tahun 2030 diterjemahkan menjadi angka 912 juta ton CO2eq untuk seluruh sektor. Sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 358 juta ton CO2eq di mana emisi GRK nasional sebagai salah salah bagiannya. Berdasarkan data Pusdatin ESDM emisi GRK untuk sub sektor batubara mencapai 4,78 persen total emisi GRK sektor energi Indonesia pada tahun 2022.
Indonesia menjadi salah satu negara yang bergabung dengan EITI, dimana terdapat berkomitmen untuk mengungkapkan informasi pendapatan yang diterima dari sektor pertambangan dan memastikan aksesibilitas informasi tersebut bagi publik. Dalam pedoman EITI memuat persyaratan pengungkapan kontrak, transparansi pembayaran, informasi dampak lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Transisi energi bisa menjadi peluang, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan keamanan energi. Namun, tantangannya juga ada, seperti kebutuhan investasi awal yang besar, menggunakan teknologi canggih dan dampak sosial seperti kehilangan pekerjaan di sektor energi fosil.
Laporan yang dirilis oleh EMBER Climate mengungkapkan pentingnya pelaporan emisi gas rumah kaca (GHG) dan peran transparansi dalam upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri pertambangan batubara. Pelaporan emisi metana sangat penting karena membantu perusahaan batu bara memahami skala masalah, menilai risiko lingkungan dan investasi, serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang efektif. Sayangnya, sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia belum sepenuhnya melaporkan emisi metana mereka.
Hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara besar di Indonesia yang melaporkan emisi metana tambang batu bara dalam laporan keberlanjutan mereka, seperti yang Indika Energy Tbk, ITM Tbk, Golden Energy Mines Tbk. dan Bukit Asam Tbk. Selain itu, beberapa perusahaan batu bara sudah memulai upaya untuk mengurangi emisi, termasuk menggunakan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan kompensasi karbon. Namun, belum ada perusahaan yang memiliki rencana mitigasi khusus untuk emisi gas metana tambang batu bara. Perusahaan perlu menilai ulang risiko terkait perubahan iklim dan peraturan lingkungan yang ketat. Diversifikasi bisnis dapat mengurangi risiko ini dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menginvestasikan sumber daya dalam energi terbarukan dan teknologi hijau lainnya.
Indika Energy dan Adaro Energy, telah menyatakan komitmen untuk mencapai emisi nol bersih masing-masing pada tahun 2050 dan 2060. Upaya ini mencakup penggunaan energi terbarukan dan pengembangan kendaraan listrik, namun belum ada rencana khusus untuk mitigasi emisi gas metana tambang batu bara.
Laporan EMBER Climate menyoroti bahwa pelaporan emisi dan transparansi adalah langkah penting dalam upaya global untuk mencapai keberlanjutan. Meskipun beberapa perusahaan telah menunjukkan komitmen terhadap pelaporan emisi, tapi masih banyak yang perlu dilakukan. Diversifikasi bisnis dan adopsi teknologi hijau merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Kemudian, Tekmira menyampaikan terkait dengan pengumpulan data emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor pertambangan batubara dan mineral. Perhitungan emisi GRK dilakukan berdasarkan aktivitas pertambangan dan faktor emisi spesifik yang telah ditentukan. Tekmira menggunakan metodologi internasional untuk menghitung emisi dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, emisi metana dari tambang, dan proses industri lainnya.
Estimasi total emisi GRK dari sektor pertambangan batubara dilakukan dengan mengintegrasikan data dari berbagai perusahaan tambang. Hasilnya menunjukkan kontribusi signifikan sektor ini terhadap emisi nasional, sehingga diperlukan upaya pengurangan yang lebih intensif.
Tekmira menekankan pentingnya pelaporan emisi yang transparan dan akurat sebagai langkah awal dalam upaya pengurangan emisi GRK. Perusahaan tambang harus mengadopsi teknologi hijau dan praktik terbaik dalam operasinya untuk mengurangi dampak lingkungan.
Harapannya perusahaan tambang bisa menyampaikan transparansi data dari sektor industri ekstraktif. Dengan komitmen yang kuat, sektor pertambangan dapat berkontribusi positif dalam mencapai target nasional pengurangan emisi dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
Read More