Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang (FRHLBT) yang juga dikelola oleh APBI-ICMA menggelar acara ”Reklamasi Bukan Basa Basi Jilid II: Memahami Surat Edaran Menteri LHK No.1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan Serta Tantangan Dalam Implementasinya" bertempat di The Langham Jakarta (27/2).

Acara ini menghadirkan narasumber Zainal Arifin (Direktur Konservasi Tanah dan Air, KLHK), Yuli Sulistiyohadi (Ditjen Minerba) dan Ali Darwin (Direktur Eksekutif National Center for Corporate Reporting). Agenda ini dihadiri sekitar 70 peserta yang terdiri dari perusahaan tambang mineral dan batubara. APBI-ICMA yang diwakili Hendra Sinadia pun hadir mendukung acara ini untuk bersama memastikan tujuan dari Surat Edaran tersebut dapat tercapai.

Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna mendukung sistem penyangga kehidupan. SE tersebut menjadi perhatian khusus bagi para pemegang PPKH, terutama di sektor pertambangan. Salah satu perhatian utama adalah sinkronisasi antara berbagai peraturan terkait. Hal ini penting untuk memastikan bahwa upaya reklamasi tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan lainnya dalam pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi

Dalam statement yang disampaikan Ignatius Wurwanto (Ketua Umum FRHLBT)  bahwa reklamasi bukan hanya sekadar kewajiban, namun perlu dijadikan sebagai kebutuhan yang mendukung keberlanjutan ekonomi dan ekologi.

Dalam sesi diskusi muncul pertanyaan mengenai apakah pengajuan Surat Keputusan (SK) baru diperlukan atau apakah pemegang izin eksisting juga harus menyusun rencana reklamasi. Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan tanggapannya, setiap pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) wajib memiliki rencana umum reklamasi selama masih aktif menggunakan kawasan hutan tersebut. Hal ini berlaku baik untuk pengajuan SK baru maupun bagi pemegang izin eksisting. Rencana reklamasi tersebut menjadi pedoman dalam penilaian reklamasi, dan dokumen tersebut akan dijadikan sebagai dokumen pelengkap dalam proses penilaian.

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi pada tambang terbuka adalah lahan yang tidak dapat ditutup dengan soil (tanah). Meskipun lahan tersebut tidak lagi digunakan untuk operasional tambang, namun tidak tersedia soil untuk menutupinya. NCCR menjelaskan bahwa dalam pelaporan sustainability, tahap top soil termasuk sebagai bagian yang harus dimasukkan. Ini menunjukkan adanya keberlanjutan dalam praktik reklamasi. Kemudian, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (DJMB) menyoroti bahwa salah satu aspek dari Good Mining Practice (GMP) adalah solusi teknologi revegetasi tanpa top soil. Solusi ini dapat merujuk pada Pedoman Penyusunan Rencana Reklamasi dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (PP No. 18 Tahun 2020).

Forum ini sebagai diskusi dan kolaborasi antara berbagai pihak terkait diharapkan menghasilkan solusi yang tepat dan berkelanjutan dalam mengatasi tantangan reklamasi di berbagai area hutan dan tambang.

Sebagai penutup Ignatius Wurwanto menyampaikan meskipun sering dipandang sebagai tantangan, faktanya ada peluang besar untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan kita. Reklamasi perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan sebagai bagian dari strategi untuk mendukung keberlanjutan ekonomi dan ekologi.